RUANGPOLITIK.COM-Direktur riset Center for Strategic on Islamic and International Studies (CSIIS) Dr. Ali Muhtarom, M.S.I menjelaskan aturan volume suara adzan yang viral menjadi polemik memiliki tujuan positif, menghargai keragaman dan toleransi beragama di masyarakat.
Pernyataan Menteri Agama, Gus Yaqut ketika ditanya wartawan, tidak ada unsur merendahkan atau menodai nilai agama Islam. Pengaturan bukan melarang adzannya, namun pengaturan volume suara yang sangat keras menimbulkan reaksi tertentu bagi masyarakat yang terganggu.
“Mewujudkan nilai ajaran agama yang moderat sangat penting dipahami masyarakat untuk berfikir, bersikap dan berperilaku seimbang yang sejatinya terwujud dalam perilaku toleran dalan lingkungan masyarakat yang beragam,” kata Ali Muhtarom dalam keterangan tertulis kepada RuPol, Minggu, (27/2/2022).
Kemudian, jika menilik pernyataan Gus Yaqut, tampaknya hal ini ditujukan untuk mengkritik tokoh atau pendakwah yang dinilainya tak kritis terhadap paham keagamaan.
“Kecenderungan sebagian masyarakat, terutama muslim yang reaksioner dan spontanitas saat ini menunjukkan kurangnya kedalaman dan keluasan pemahaman keagamaan. Belum mampu membedakan antara agama dan paham keagamaan,” sambungnya.
Ali Muhtarom menambahkan pemahaman yang bersifat simbolis dari paham keagamaan akan selalu ramai, bahkan tidak jarang menimbulkan tensi ketegangan tersendiri.
Berita Terkait:
Kontroversi, Gus Yaqut Mencontohkan, Bukan Bandingkan Suara Adzan Dengan Anjing
Imbas Pernyataan Kontroversi, Menteri Agama Bakal Dipolisikan
Analogikan Gonggongan Anjing, Pengamat: Tak Pantas Disampaikan Seorang Menteri
PKB Akhirnya Tegur Keras Menag Yaqut
“Fenomena tersebut akan semakin menaik jika ada pihak tertentu yang sengaja memanfaatkan, apalagi untuk kepentingan politik,” lanjutnya.
Analisi politik ini menyebut Gus Yaqut mengajak untuk mendalami ushul fiqh, kerangka metodologis tentang substansi pemahaman keagamaan Islam yang saat ini semakin mengering.
“Pernyataan Gus Yaqut harus diapresiasi bahwa dialektika sangat penting, mengajak berfikir tentang alasan atau ‘illat-nya. Artinya tidak ada penyamaan suara adzan dengan suara anjing, namun yang menjadi dasar adalah bisingnya suara,” terangnya.
Menurutnya, banyak tokoh muslim dari kalangan akademisi bisa bersuara mengemukakan pendapatnya dengan jernih tanpa adanya unsur penodaan agama.
“Pengaturan volume suara adzan membuka wacana keagamaan masyarakat jika para intelektual dan sarjana muslim konsisten mengembangkan wacana keagamaan yang komprehensif, substantif, dan moderat,” pungkasnya. (Tyo)
Editor: Setiono
(RuPol)