RUANGPOLITIK.COM — Pengesahan KUHP yang kontroversial dan dianggap membahayakan demokrasi dinilai banyak kalangan hanya menguntungkan penguasa semata. Sementara yang dikorbankan adalah rakyat.
Termasuk didalamnya kebebasan menyampaikan pernyataan atau orasi didepan publik, yang dapat digunakan sebagai pasal untuk membungkam para aktivis dan pejuang HAM. Terlebih jika kritikan itu ditujukan kepada Presiden atau pejabat negara, rakyat yang menuntut bisa kena hukuman pidana.
Namun Menko Polhukam Mahfud Md menepis tuduhan tersebut sekaligus mengklarifikasi ada yang mengkritik Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disahkan semata-mata untuk melindungi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mahfud mengatakan KUHP baru justru berlaku setelah Jokowi tidak lagi menjabat presiden.
“Wah, ini Presiden kalau dihina, diancam pidana agar Presiden Jokowi bisa nangkap orang, lah ini (KUHP baru) berlaku setelah Presiden Jokowi berhenti, berlaku undang-undang ini,” kata Mahfud saat acara Catatan Akhir Tahun Menko Polhukam di Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (15/12).
Mahfud menegaskan KUHP baru bukan untuk melindungi Jokowi. Mahfud menyebut KUHP baru diimplementasikan tiga tahun lagi.
“Berlaku tahun 2025, bukan untuk melindungi Pak Jokowi, kok lalu dituduh untuk melindungi Pak Jokowi, untuk menangkap orang-orang yang kritis, untuk lindungi Anda yang mau jadi presiden yang akan mendatang. Agar Anda tidak dihina-hina,” ujarnya.
Mahfud bercerita Jokowi pernah menyampaikan kepadanya, setiap hari dihina tapi tak pernah menggugat. KUHP baru dibuat semata-mata karena negara butuh.
“Kalau Pak Jokowi bilang ke saya, ‘kalau saya ndak perlu, orang saya tiap hari udah dihina, nggak gugat juga’, kata Pak Jokowi. ‘Tapi kalau negara butuh, buat itu, dan itu tidak berlaku untuk saya kan’, kata Pak Jokowi,” jelasnya
“Kok lalu dibilang untuk lindungi rezim, masih tiga tahun lagi, berlaku untuk Anda yang menang di 2024 itu. Untuk melindungi Anda yang menang di tahun 2024, untuk melindungi Anda agar negara ini aman,” pungkasnya.
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)