RUANGPOLITIK.COM-Kiprah mantan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam sudah tidak diragukan lagi selama memimpin Sultra dua periode, yakni 2008-2018. Pencapaian Nur Alam membangun Bumi Anoa diwujudkan dengan membuat program utama Pambangunan Masyarakat Sejahtera atau Bahteramas yang diluncurkan pada tahun pertama pemerintahan Nur Alam.
Program ini meliputi pemberian bantuan operasional pendidikan (BOP), pemberian bantuan kesehatan, dan pemberian blockgrand Rp100 juta bagi desa se-Sultra. Program terakhir ini disebut-sebut sebagai pelopor dari dana desa yang sekarang digalakkan pemerintah.
Pemberian blockgrand ini berkembang dengan munculnya 12 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bahteramas di sejumlah Kabupaten di Sultra. Sedangkan pemberian BOP menjadikan Sultra sebagai daerah percontohan nasional pendidikan 12 tahun. Program ini kemudian ditingkatkan menjadi program Cerdas Sultra.
Kesuksesan dari program Bahteramas ini dirasakan betul oleh masyarakat Sultra. Bahkan, putra kelahiran Konda, 9 Juli 1967, tersebut mendapatkan pujian dari Presiden Ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY juga menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama Bidang pembangunan kepada Nur Alam pada 2013.
Tak hanya di bidang pendidikan dan kesehatan, tetapi juga infrastruktur. Berkat tangan dinginnya, lahirlah Jembatan Bahteramas Teluk Kendari dan jembatan-jembatan lain yang jadi penopang perekenomian Sultra.
Namun sayang, pada 23 Agustus 2016 lalu Nur Alam ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terkait kasus korupsi pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi terhadap PT Anugerah Harisma Barakah (PT. AHB), perusahaan penggarap nikel di Kabupaten Buton dan Bombana, Sulawesi Tenggara.
Berita Terkait:
Gubernur NTT: Kepala Derah Se-NTT Harus dan Wajib Dukung Penuh RAN PASTI
Kembali Maju Pilkada 2024, Edy Rahmayadi Minta Dukungan NasDem
SMRC: Ganjar Tak Maju, Anies Dongkel Prabowo di Pilpres 2024
Soal Wawako Padang. PAN: PKS Jangan Bicara Etika, Ikuti Undang-undang
Sejumlah upaya hukum pun telah ditempuh Nur Alam atas kasus yang menjeratnya. Mulai dari mengajukan Praperadilan, Banding ke tingkat Pengadilan Tinggi, Kasasi ke Mahkamah Agung (MA), hingga mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dua kali ke MA.
Upaya hukum tersebut dilakukan Nur Alam sebagai bentuk keyakinan bahwa dirinya tidak bersalah atas kasus yang dituduhkan.
Nyatanya, pada PK pertama, Hakim M. Askin memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) bahwa kasus Nur Alam adalah terkait hubungan keperdataan dan bukan kasus pidana. Namun Suara M. Askin kalah dengan suara dua Hakim MA lainnya, Suhardi dan Eddy Army.
Nur Alam pun tetap dijatuhi hukuman 12 tahun kurungan penjara di Lapas Kelas I Sukamiskin, Bandung.
“Kasus hukum yang membelit Nur Alam walaupun dia berhasil melakukan terobosan besar di Sultra jika berbenturan dengan kelindan kartel dan kepentingan mafia jahat maka jangan berharap keadilan bisa tegak,” Kata Pakar Komunikasi Politik DR. Ari Junaedi.
“Sejatinya Nur Alam adalah putra bangsa yang dipaksa kalah dan divonis salah. Dedikasinya untuk Sultra tidak kalah oleh lembabnya jeruji besi. Setidaknya kasus Nur Alam menjadi pandora bahwa harga keadilan di negeri ini masih bertarif dan rapuh oleh lembab kekuasaan yang pongah,” sambung Ari.
Meskipun raganya dikurung, pikiran dan gagasan Nur Alam tak putus memikirkan kemaslahatan masyarakat Sultra yang berkelanjutan. Untuk menyapa masyarakat Sultra, Nur Alam membuat buku memoar berjudul ‘Dipaksa Salah Divonis Kalah’ yang ditulis oleh Naemma Herawati. Buku ini segera launching pada 7 Maret 2022.
Peluncuran buku memoar Nur Alam akan diisi dengan agenda bedah buku. Tak main-main, bedah buku eks Gubernur Sultra dua periode itu menghadirkan tiga tokoh nasional sebagai panelis, diantaranya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) 2013-2015 DR. Hamdan Zoelva, Ahli Hukum Tata Negara DR. Margarito Kamis, Ahli Hukum Pidana DR. M.Arif Setiawan, dengan moderator DR. Ari Junaedi.(AP)
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)