RUANGPOLITIK.COM – Ada sebuah hadits yang banyak beredar di kalangan masyarakat, bahkan terkadang disampaikan juga di dalam majelis atau taklim-taklim, yaitu hadits yang berbunyi:
“Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China”
Namun tidak banyak yang tahu, bahwa hadits tersebut termasuk dalam hadits palsu, sehingga dikuatirkan akan menimbulkan dosa besar ketika hal itu disampaikan, karena Rasulullah shallallahu alaihi wassala pernah bersabda:
“Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.”
(HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4).
Jadi bagaimana sebenarnya kedudukan hadits “Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China” tersebut, begini penjelasan oleh Ustadz Ammi Nur Baits:
Hadis ini adalah hadis yang batil. Bahkan disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at, “Ini adalah hadis dusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. As-Syaukani mengatakan,
‘Hadis ini diriwayatkan al-Uqaili dan Ibn Adi dari Anas secara marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).’ Ibn Hiban mengatakan, ‘Ini adalah hadis batil, tidak ada sanadnya (laa ashla lahuu), dalam sanadnya ada Abu Atikah, dan dia adalah munkarul hadis.’
Baca juga:
Apakah Ya’juj dan Ma’juj Masuk Golongan Manusia?
Kapan Mengucapkan Masya Allah?
Dan kalau ditelaah lagi, tidak mungkin Rasulullah shallallahu alaihi wassalam menyebutkan Negeri China, karena pada zaman itu, bangsa yang besar itu adalah Romawi dan Persia. Kedua bangsa tersebut terkenal dengan kemajuan teknologi dan kekayaannya, seperti yang kita baca pada hadits-hadits lain yang banyak menyebutkan kedua bangsa tersebut.
Namun apakah ada hadits yang terkait dengan menuntut ilmu tersebut?
Hadis yang shahih dalam masalah kewajiban menuntut ilmu adalah hadis dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.”
(HR. Ibn Majah 224 dan dishahihkan al-Albani dalam shahih Ibn Majah, 1/296)
Yang dimaksud di sini adalah ilmu syariah. Sufyan at-Tsauri mengatakan: Yaitu ilmu, di mana seorang hamba tidak memiliki udzur (alasan yang dibenarkan) untuk tidak mengetahuinya. (Hasyiyah as-Sindi ‘ala Sunan Ibn Majah, 1/208)
Sumber: Konsultasisyariah.com
Editor: Asiyah Lestari
(RuPol)