RUANGPOLITIK.COM — Tentu banyak pihak yang kontra atas putusan Pemilu 2024 ditunda yang ditetapkan PN Jakpus. Banyak yang mengklaim bahwa putusan penundaan pemilu ini sama saja melanggar konstitusi dan mengancam demokrasi.
Menurut Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah, putusan PN Jakpus ini cacat hukum dan bertentangan dengan UUD 1945. Padahal sebagai hakim putusan perkara juga harus berpedoman kepada UUD 1945 sebagai dasar hukum tertinggi.
“Putusan pengadilan negeri yang meminta KPU menunda Pemilu segara jelas bertentangan dengan UUD NRI 1945 yang secara jelas menyebutkan pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali,” katanya seperti yang dikutip dari rilis MPR, Sabtu (11/3/2023).
Lebih lanjut Ahmad juga mengungkapkan bahwa gugatan Partai Prima seharusnya diselesaikan dengan Undang-Undang (UU) Pemilu, bukan hukum perdata.
Hal serupa juga disampaikan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang mengungkapkan bahwa penundaan pemilu adalah pelecehan terhadap konstitusi.
“Secara fundamental, wacana penundaan Pemilu 2024 inkonstitusional, melecehkan konstitusi (contempt of the constitution), dan merampas hak rakyat,” catat Perludem dalam rilis di laman resminya.
Faktanya, berdasarkan Pasal 7 dan Pasal 22E UUD 1945 mengatur dengan tegas bahwa kekuasaan eksekutif dan legislatif hanya dibatasi selama 5 tahun dan setiap 5 tahun sekali pemilu diselenggarakan.
Sementara itu, anggota DPR M Hidayat Nur Wahid mengkritik dan mempertanyakan kompetensi hakim yang memutuskan perkara tersebut.
“Saya mempertanyakan kompetensi hakim yang memutus perkara tersebut. Wajarnya Komisi Yudisial memeriksa Hakim yang memerintahkan penundaan Pemilu itu,” katanya dalam rilis MPR.
“Hakim yang memutuskan perkara terkait Pemilu seperti itu bukan sembarangan hakim. Dia harus yang memiliki pengetahuan luas tentang pemilu,” lanjut dia.
Selain mengkritik tentang kompetensi hakim, Hidayat juga menyadari bahwa penyelesaian perkara ini juga tidak ditangani oleh lembaga yang tepat.
Menurutnya, perkara terkait pemilu itu tidak bisa diproses di pengadilan umum seperti PN Jakpus melainkan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hidayat juga menegaskan bahwa pengadilan negeri tidak memiliki kewenangan untuk mengadili perkara serupa.
“Apalagi dengan amar putusan yang membuat gaduh, yang potensial ditunggangi oleh mereka yang masih bermanuver untuk memperpanjang masa jabatan Presiden dengan penundaan Pemilu,”pungkasnya.
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)