Salah satu kemungkinannya, kata Fachri, MK tetap mempertahankan batasan minimal usia capres dan cawapres 40 tahun dengan menambahkan syarat pernah menjadi atau sedang menjadi kepala daerah.
RUANGPOLITIK.COM – Pakar hukum tata negara dan konstitusi Universitas Muslim Indonesia Makassar, Fachri Bachmid mengungkapkan berbagai kemungkinan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal ketentuan uji materi batasan minimal usia capres dan cawapres untuk maju pilpres sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Salah satu kemungkinannya, kata Fachri, MK tetap mempertahankan batasan minimal usia capres dan cawapres 40 tahun dengan menambahkan syarat pernah menjadi atau sedang menjadi kepala daerah.
“MK bisa saja tetap mempertahankan usia 40 tahun tetapi ditambahkan dengan suatu syarat khusus, yaitu pernah menjabat atau menjadi kepala daerah dengan segala konsekuensi konstitusionalnya,” ujar Fachri kepada wartawan di Jakarta, Minggu (15/10/2023).
Fahri mengatakan, MK pernah memutuskan uji materi yang hampir sama dengan kemungkinan tersebut, yakni uji materi soal batasan usia pimpinan KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 29 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Pasal tersebut digugat oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam Nomor perkara 112/PUU-XX/2022.
Pasal 29 huruf e menyebutkan syarat pimpinan KPK, ‘Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan’. MK, kata Fahri, kemudian memutuskan Pasal 29 huruf e bertentangan dengan UUD 1945 atau inkonstitusional. Menurut MK, ketentuan Pasal 29 huruf e menjadi konstitusional jika berbunyi seperti ini, ‘berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan’.
Dalam putusan tersebut, kata Fahri, MK menambahkan syarat khusus soal batasan usia minimal pimpinan KPK, yakni berpengalaman sebagai pimpinan KPK.
“Dengan demikian, dapat saja MK membuat putusan dengan corak dan karakter yang demikian itu, sehingga batas usia 40 tahun eksistensi normanya tetap berlaku, tetapi ditambah keadaan hukum khusus (pernah menjadi kepala daerah) agar dapat menjangkau subjek hukum tertentu, segala kemungkinan itu dapat saja terjadi,” jelas Fahri.
“Jika itu yang terjadi maka dinamika pada internal hakim MK akan terbelah, pastinya ada sebagian hakim MK yang akan mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion, ini tentu merupakan produk analisis saya yang bisa saja terjadi atau tidak juga terjadi,” tandas dia menambahkan.
Selain kemungkinan tersebut, kata Fahri, MK juga bisa memutuskan uji materi ketentuan batas minimal usia capres dan cawapres tidak memenuhi ketentuan syarat formil sehingga permohonan pemohon tidak dapat diterima.
MK, kata dia, juga bisa saja menyatakan uji materi tersebut tidak beralasan menurut hukum sehingga menolak permohonan pemohon.
“Lalu, dalam hal pokok permohonan beralasan menurut hukum, maka MK dalam amar putusan menyatakan mengabulkan permohonan pemohon sebagian/seluruhnya sehingga MK memutuskan batas minimal usia capres/cawapres turun dari batas usia 40 menjadi 35 tahun,” beber dia.
Lebih lanjut, Fahri mengatakan secara prinsip, dia berpandangan bahwa MK tidak berwenang untuk menetapkan norma terkait batas umur usia capres atau cawapres dalam tata norma hukum. Pasalnya, persoalan penentuan batas umur terkait persyaratan untuk mengisi jabatan-jabatan publik merupakan open legal policy.
“Itu secara konstitusional yang didasarkan pada berbagai putusan MK telah meletakkan kaidah open legal policy merupakan domain pembentuk UU, yaitu DPR dan presiden, pranata itu harus melalui proses legislation, wetgeving, sehingga dengan demikian, persoalan tersebut harus diletakan pada konteks statutory rules sehingga harus dikembalikan pada konteks itu,” pungkas Fachri.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)