Menurutnya, hal itu imbas dari pendidikan politik warisan Pemerintah Hindia Belanda, yang cenderung diskriminatif. Kala itu, hanya kalangan Islam tertentu yang bisa masuk ke pemerintahan.
RUANGPOLITIK.COM —Menko Polhukam Mahfud MD menyebut Pondok Pesantren Al-Zaytun yang dipimpin Panji Gumilang adalah hasil operasi intelijen untuk memecah sisa-sisa gerakan Darul Islam atau Negara Islam Indonesia (NII) yang dicetuskan oleh Kartosoewirjo.
Mahfud awalnya menceritakan, di masa awal kemerdekaan Indonesia, banyak pejuang dari kalangan Islam yang merasa terpinggirkan dan tak tertampung dalam tata kelola pemerintahan.
Menurutnya, hal itu imbas dari pendidikan politik warisan Pemerintah Hindia Belanda, yang cenderung diskriminatif. Kala itu, hanya kalangan Islam tertentu yang bisa masuk ke pemerintahan.
“Pejuang, anak-anak muda, dan tokoh Islam banyak yang tidak tertampung dalam tugas-tugas di pemerintahan negara baru. Kemudian banyak kalangan Islam yang memutuskan untuk kembali ke pesantren dan fokus dalam mendidik santrinya. Tapi ada juga yang marah karena tidak tertampung,” kata Mahfud MD dalam Halaqah Ulama Nasional, di Pesantren Sunan Drajat Lamongan, Rabu (12/7).
Kalangan Islam yang terpinggirkan dalam tata kelola negara ini bahkan menimbulkan kemarahan sebagian kalangan, salah satunya adalah Kartosoewirjo yang kemudian mendirikan Darul Islam atau NII.
“Perjuangan yang dilakukan Kartosoewirjo untuk mendirikan Negara Islam Indonesia sebenarnya terus berlanjut, masih ada ekornya sampai sekarang, hingga sekarang ada ribut-ribut soal Panji Gumilang. Jadi Panji Gumilang dulu induknya adalah Negara Islam Indonesia,” ucapnya.
Mahfud menyebut, NII merupakan organisasi tanpa bentuk dan gerakan bawah tanah. Tapi NII memiliki struktur yang terdiri dari imam atau syekh yang memimpin, gubernur, menteri, bupati hingga camat.
Meski sudah ditumpas diberbagai tempat, tapi Pemikiran Kartosoewirjo itu dipercaya masih hidup dan diteruskan oleh pengikut-pengikutnya. Akhirnya pemerintah melalui operasi intelijen pun menggalang gerakan untuk melemahkan NII. Yakni dengan cara dipecah, mengadu NII versus NII.
“Nah, (NII) itu diketahui oleh pemerintah, sehingga pada awal tahun 1970-an, NII oleh pemerintah dipecah, diadu, yang satunya untuk melawan yang lain. Itu operasi yang dilakukan Ali Moertopo,” beber Mahfud.
“Memang begitu dulunya, dulu ada komando jihad, ada orang dipancing untuk berkumpul lalu disuruh membuat resolusi, disuruh buat pernyataan keras, setelah itu ditangkap lalu dicitrakan ada komando jihad yang sama dengan NII sebelumnya. Saya dengar dari sumbernya langsung,” tambahnya.
Lebih lanjut, Mahfud membeberkan, NII hasil operasi intelijen dan bentukan pemerintah waktu itu salah satu wilayahnya adalah Komandemen 9, yang sekarang dikenal sebagai Al Zaytun.
“Mengadu NII dengan NII itu kalau pakai [terminologi] salawatnya orang NU itu sama dengan [makna] Salawat Asyghil. Wa asyghilid zolimin bid zolimin. NII diadu dengan NII, maka NII akan hancur sendiri, kira kira begitu,” ucapnya.
“Kemudian sesudah merasa nyaman dengan pemerintah, merasa aman, kemudian Panji gumilang ini memecahkan diri. menampilkan sosok Al Zaytun yang seperti sekarang. Di balik inilah latar belakang sejarahnya dan pengikut-pengikutnya itu masih banyak,” pungkas Mahfud.
Panji menjelaskan Al Zaytun berdiri sejak 1999 dengan konsentrasi pada Ekonomi Pendidikan-Pendidikan Ekonomi yang berdasar Al Zaytun pusat pendidikan, pengembangan budaya toleransi dan perdamaian. Hal itu telah berjalan selama 25 tahun.
“25 tahun ke depan ditambah menuju masyarakat sehat, cerdas, manusiawi. Praktiknya sesuai enggak? Ada toleransi enggak Al Zaytun? Katakanlah ingin satu orang Panji Gumilang ada toleransi tidak, suka damai tidak,” kata Panji dalam program Rully Files yang ditayangkan di YouTube CNN Indonesia TV, Senin (10/7).
Ia pun menepis Al Zaytun terafiliasi dengan NII. Ia menekankan bahwa NII sudah selesai.
“Sudah selesai, mengafiliasi kemana? Sudah selesai,” ujar Panji Gumilang.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)