Berdasarkan data Bidang Peningkatan Kualitas Keluarga (PKK) Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak Dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Jawa Barat mencatat, dari sekitar 8.000 permohonan dispensasi kawin.
RUANGPOLITIK.COM —Semua pihak harus bersinergi demi mewujudkan provinsi dan kabupaten/kota yang bebas dari perkawinan anak. Oleh karena itu, dibutuhkan kiat-kiat khusus untuk mewujudkannya.
LSM Yayasan Plan International Indonesia bersama Pemprov Jabar dan Pemkab Sukabumi mengadakan dialog antargenerasi. Dialog tersebut memiliki tema ‘Gotong Royong Melindungi Masa Depan Anak’ melalui hashtag #TidakKawinAnak.
Kegiatan ini dilaksanakan di Ruang Rapat Sanggabuana, Gedung Sate, di Jalan Diponegoro, Kota Bandung pada Selasa, 27 Juni 2023.
Berdasarkan data Bidang Peningkatan Kualitas Keluarga (PKK) Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak Dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Jawa Barat mencatat, dari sekitar 8.000 permohonan dispensasi kawin.
Berdasarkan jumlah tersebut sebanyak 5.777 permohonan dikabulkan pada Desember 2022. Padahal, perkawinan anak membawa berbagai dampak negatif bagi anak, termasuk ancaman putus sekolah yang melanda sebanyak 10.884 anak di Jawa Barat pada 2022.
Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK) Jawa Barat (Jabar) Atalia Praratya Kamil, diwakilkan oleh Euis Soetrisno oleh Staf Ahli menekankan urgensi keterlibatan antarpihak dalam mencegah perkawinan anak, termasuk TPPKK di level desa hingga provinsi.
“Komitmen pencegahan perkawinan anak tidak berhenti sampai implementasi kebijakan. Edukasi yang rutin dan berkelanjutan terkait pencegahan perkawinan anak ke orangtua dan keluarga juga penting, karena pendidikan dan perlindungan semua dimulai dari rumah,” ucap Euis.
Hal senada disampaikan Kepala DP3AKB Provinsi Jawa Barat, Gusti Agung Kim Fajar Wiyati Oka.
“Kampanye yang diinisiasi oleh DP3AKB dengan melibatkan pemangku kepentingan, seperti STOPAN Jabar (Stop Perkawinan Anak di Jawa Barat) dapat menjadi titik temu bagi kaum muda untuk aktif bersuara melindungi hak hak dan masa depan mereka,” kata Kim Agung.
Sementara, Wakil Ketua Pengadilan Agama Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Aman, menyampaikan pentingnya edukasi kepada orangtua, tokoh agama, tokoh adat, dan guru soal undang-undang yang mengatur batas usia perkawinan, sebagai bentuk mitigasi tingginya dispensasi perkawinan anak.
“Meskipun ada ruang hukum dalam pasal 7 ayat 2 UU 16/2019, namun ada syarat kumuiatif yang harus dipenuhi yaitu memiliki alasan yang mendesak dan memiliki bukti pendukung yang cukup. Artinya, penetapan dispensasi tidak sembarangan dikeluarkan jika dua syarat ini tidak terpenuhi,” kata Aman.
Pelibatan Bermakna untuk Cegah Perkawinan Anak
Sejalan dengan rencana kerja pemerintah, Plan Indonesia telah melakukan pendampingan rutin di 2 desa dan 5 sekolah di Kecamatan Warungkiara dan Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi.
Pendampingan ini dilakukan terhadap remaja dan kaum muda usia 13-24 tahun dan Orangtua dalam upaya edukasi pencegahan perkawinan anak. Plan Indonesia juga mendorong aspirasi anak atau kaum muda melalui metode pendidik sebaya, untuk pelibatan aktif daiam mencegah perkawinan mulai dari skala keluarga hingga desa.
Amira (17 tahun), pendidik sebaya yang berpartisipasi dalam program Generasi Emas Bangsa Bebas Perkawinan Anak (Gema Cita), menekankan pentingnya mendengarkan aspirasi kaum muda dalam isu perkawinan anak.
“Masa depan kami, anak dan kaum muda, ada di tangan pemangku kebijakan dan orang tua. Namun, kami tidak tinggal diam, kami tetap harus terlibat aktif menyuarakan hak kami melalui peran kami sebagai pendidik sebaya,” ujarnya.
Hal ini diamini oleh Manajer Program SPACE (Penghapusan Kekerasan terhadap Anak dan Kaum Muda), Herbet Barimbing.
“Pendekatan pendidik sebaya juga menjadi salah satu solusi edukasi yang efektif untuk anak dan kaum muda, seperti yang dilakukan oleh program Gema Cita di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lombok Barat sejak 2021,” ujar Herbet.
Upaya membangun partisipasi bermakna bagi remaja dan kaum muda harus dilakukan dengan melibatkan mereka dalam forum strategis. Misal, dengan menjadi anggota Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), tim Sekolah Ramah Anak (SRA), Forum Anak Desa, dan pendidik sebaya.
Selain itu, stunting juga banyak disebabkan oleh perkawinan anak. Baik itu organ reproduksi yang belum siap, maupun si anak yang belum siap untuk diberi tanggung jawab membesarkan anak.
“Peraturan baru pun mencatat sebaiknya pernikahan usia minimalnya adalah 19 tahun. Tidak di bawah itu, ini untuk mencegah berbagai imbas semisal stunting tersebut,” katanya.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)