Kekurangan gizi terjadi sejak bayi lahir dalam kandungan dan pada masa awal setelah anak lahir atau dalam 1000 hari pertama kehidupan (HPK).
RUANGPOLITIK.COM —Postur tubuh pendek mungkin menurut sebagian orang masih dianggap biasa saja. Bahkan ada pula yang menganggapnya keturunan. Namun, masyarakat harus waspada terhadap kondisi tubuh yang pendek.
Bisa jadi itu stunting dan dapat berdampak negatif bagi kesehatan. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya.
Kekurangan gizi terjadi sejak bayi lahir dalam kandungan dan pada masa awal setelah anak lahir atau dalam 1000 hari pertama kehidupan (HPK).
Menurut Ahli Nutrisi dan Gizi Nurimax, Hendra memaparkan, Report tahun 2014 Indonesia termasuk di dalam 17 negara diantara 117 negara yang mempunyai masalah terhadap gizi salah satunya adalah stunting.
“Dalam pengentasan kasus stunting perlu difokuskan pada pendekatan gizi mikro melalu suplemen dan vitamin.Namun harus diakui dengan gencarnya pengentasan stunting tahun ini, kasus stunting di tanah air mulai ada penurunan,” ulas Hendra dalam perbincangan santai kepada RuPol, Jumat, 16 Juni 2023.
Hendra Ahli Nutrisi dan Gizi Nurimax mengungkapkan, masalah gizi yang terus terjadi tentunya dapat menjadi faktor penghambat dalam pembangunan. Hubungan gizi dengan pembangunan bersifat timbal balik.
Artinya bahwa gizi akan menentukan keberhasilan suatu bangsa, begitu pula sebaliknya kondisi suatu bangsa dapat mempengaruhi status gizi masyarakatnya.
Gizi dalam kaitannya dengan pembangunan suatu bangsa berkaitan dengan sumber daya manusia. Setiap tahun Pusat dan Data Informasi (Pusdatin) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melaksanakan pemantauan status gizi (PSG), selain riset kesehatan dasar (Rikesdas) terakahir dirilis tahun 2013.
Menurut hasil pemantauan status gizi menunjukkan persentase stunting anak balita umur 0-23 bulan di Indonesia tahun 2017 sebesar 6,9 persen sangat pendek dan 13,2 persen pendek.
Para pakar berpendapat bahwa intervensi spesifik oleh sektor kesehatan hanya berperan sebanyak 30 persen, sementara yang 70 persen adalah intervensi sensitif dimana yang berperan di luar sektor non kesehatan.
Sayangnya selama ini persepsi kita sekilas tentang stunting adalah masalah gizi yang menjadi urusan sektor kesehatan saja. Padahal intervensi sensitif sektor non kesehatan berperan besar dalam rangka mendukung intervensi spesifik dari sektor kesehatan.
Oleh karena itu, sebagai bahan evaluasi kita bersama bahwa penanganan stunting selama ini bersifat tambal sulam.
Sudah banyak program penanggulangan stunting dilakukan pemerintah, tetapi dampaknya belum nyata. Setiap sektor cenderung merencanakan dan melaksanakan programnya sendiri sehingga tidak ada keterkaitan.
Akibatnya, banyak program penanggulangan stunting yang tidak tepat sasaran dan seringkali hanya mengatasi gejala dan bukan akar masalah.
“Stunting merupakan tantangan yang harus kita hadapi bersama dalam upaya perbaikan kualitas sumber daya manusia kita ke depan, justru dapat kita anggap sebagai sebuah peluang besar untuk mencapai kesuksesan untuk mencetak generasi berkualitas,” harapnya.
Sementara itu. Prevalensi stunting di Indonesia masih di kisaran 21,6 persen per tahun 2022 berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia. Artinya, ada sekitar 4,6 juta kasus balita yang mengalami stunting.
Hendra mengungkapkan, perlu ada upaya yang lebih intensif dan tepat sasaran untuk menekan target stunting sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo.
“Seperti diketahui, Jokowi menargetkan stunting bisa ditekan hingga 14 persen pada tahun 2024,” tukasnya.
Hendra menambahkan, pihaknya kini tengah gencar melakukan edukasi perihal penanganan kasus stunting yang masih membayangi bangsa Indonesia.
“Penanganan kasus stunting ini harus tepat dan terarah. Contoh bukan hanya sekedar gizi saja tapi nutrisi yang tepat dan efektif dapat menanguulani dan menekan kasus stunting di Indonesia,” papar Hendra yang juga Presdir PT.SURYAPRANA NUTRISINDO ( Nutrimax).
Berdasarkan data dan informasi yang dihimpun dari berbagai sumber, seperti pemerintah daerah Provinsi Jambi, khususnya di Kabupaten Batang Hari dan Kabupaten Muaro Jambi, dalam rangka penurunan kasus stunting, imbuh Hendra, prevalensi stunting di Kabupaten Batang Hari saat ini mencapai 26,3 persen dan Kabupaten Muaro Jambi mencapai 18,6 persen.
Selain itu, Ungkap Hendra, Kerja sama itu juga mesti fokus pada pendampingan teknis yang meliputi intervensi Komunikasi Perubahan Perilaku (KPP), pemenuhan pelaksanaan Aksi Konvergensi, penguatan kapasitas Tim Pendamping Keluarga (TPK) serta dukungan untuk pemantauan dan evaluasi.
“Kerja sama dengan pemda yang kami lakukan ini ini diharapkan tidak hanya dapat menurunkan prevalensi stunting, namun juga memberikan dampak jangka panjang, yaitu meningkatnya sumber daya manusia yang berkualitas,” pungkasnya. (BJP)
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)