RUANGPOLITIK.COM-Penyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) terkait dukungan penundaan Pemilu 2024 mempersepsikan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) tengah mendua kepada rakyat Indonesia.
“Statement baru ini, dilemparkan kepada publik, dikarenakan presiden kala itu bersifat mendua dalam pernyataan politiknya kepada publik,” kata Pengamat Politik Efriza, kepada RuPol, Sabtu (12/03/2022).
“LBP merasa pernyataannya itu adalah wujud dari atas nama demokrasi, kebebasan berpendapat, sehingga ia dapat mengklaim mengatasnamakan rakyat,” sambungnya.
Lebih lanjut, Efriza menilai, statment yang dilontarkan LBP menunjukkan politik di Indonesia di bawah kepemimpinan periode akhir Presiden Jokowi bukan saja gagal melakukan konsolidasi demokrasi.
Tetapi juga terjerembab dalam upaya melanggengkan kekuasaan dengan cara menjurus kepada inkonstitusional, tidak patuh terhadap konstitusi.
“Klaim LBP adalah penggiringan opini publik yang negatif, menggaburkan, opini dari fakta yang sebenarnya di publik bahwa menolak segala alasan penundaan pemilu 2024,” tegasnya.
Berita Terkait:
PAN Dapat Kursi Menteri, Gerindra: Semua Tergantung Presiden Layak Atau Tidak
PAN Dikabarkan Dapat Kursi Menteri dan Wamen, PKB: Welcome to The...
Pengamat: Bergabungnya PAN Dipemerintahan Untuk Amankan Kasus Hukum
Pengamat: PAN Masuk Kabinet Lebih Banyak Ruginya
Menurutnya, hal itu juga memperkuat bahwa dalang dibalik adanya wacana penundaan Pemilu 2024 adalah Luhut. Statementnya pun diyakini akan memperburuk popularitas dan kepercayaan publik kepada pemerintah.
“Pernyataan Luhut memang mengesankan bahwa LBP sebagai aktor dalam wacana penundaan pemilu. Dan situasi ini akan menunjukkan ini adalah periode Jokowi yang suram di akhir jabatannya,” ucap Efriza.
Efriza pun menilai, wajah pemerintah sekarang adalah menunjukkan dua wajah kekuasaan sekaligus, menampilkan citra bersama dengan rakyat, di sisi lain malah senang membuat masyarakat geram atas pernyataan, sikap dan kebijakan pemerintah.
“Pemerintah sedang dilanda Hasrat tinggi untuk nafsu kekuasaan, dan kepentingan kelompok saja dengan selalu memakai “pakaian” demokrasi dan menyatakan sikap patuh terhadap konstitusi,” paparnya.
“Tetapi pada dasarnya ingin menanggalkan pakaian demokrasi itu sebisa mungkin, juga sebel atas aturan konstitusi saat ini, seperti dalam kasus menggiring opini publik agar sepakat menunda pemilu 2024 mendatang,” tutup Efriza. (AFI)
Editor: Setiono
(RuPol)