RUANGPOLITIK.COM–Ilmuwan politik, Saiful Mujani, mengatakan amandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang menandai reformasi pasca jatuhnya Orde Baru terjadi karena alasan objektif bangsa kita sedang krisis. Pembatasan masa jabatan presiden dua periode dan masing-masing periode lima tahun adalah amanat reformasi.
Pendiri SMRC ini menjelaskan bahwa proses amandemen konstitusi untuk membatasi masa kekuasaan presiden dibuat anggota DPR dan MPR berdasarkan aspirasi masyarakat yang mengalami krisis tahun 1998.
“Ada krisis yang besar ketika itu, terjadi kerusuhan, ekonomi hancur, dan seterusnya. Dan dianalisis, sumber kekacauan itu adalah masalah politik. Politik itu terkait dengan Undang-undang dasar kita yang tidak membatasi kekuasaan,” kata Saiful Mujani dalam program Bedah Politik bertajuk “Amandemen untuk Penundaan Pemilu” yang tayang melalui kanal Youtube SMRC TV, Kamis, (10/03/2022).
Lebih lanjut, Saiful menegaskan, ketentuan dua periode itu sangat sakral. Karena itu amanat reformasi yang berdarah-darah. Itu adalah semacam terapi pada buruknya praktik politik kita pada masa Orde Baru.
Saiful mengingatkan bahwa Indonesia punya sejarah kekuasaan yang tidak dibatasi. Presiden Soekarno diangkat menjadi presiden seumur hidup. Dia mengakhiri kekuasaan dengan sangat tragis, yakni dijatuhkan MPRS dan sakit.
Hal ini kemudian diulang pada masa Orde Baru. Karena tidak terkontrol, Soeharto bahkan meninggal dalam status sebagai tersangka korupsi.
“Pengalaman sejarah itu penting ketika kita bicara untuk mengubah batasan-batasan kekuasaan tersebut, terutama pembatasan kekuasan eksekutif. Itu amanat reformasi yang sangat fundamental,” tegasnya.
Namun demikian, Guru besar ilmu politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta ini menambahkan bahwa adanya aspirasi untuk menambah masa berkuasa dari 5 tahun menjadi 8 tahun atau dari 2 periode menjadi 3 periode, sebagai sebuah gagasan di negara yang bebas ini. Namun, ia mempertanyakan apa urgensi adanyanya wacana tersebut.
“Yakinkan kita semua, rakyat, bahwa perubahan itu sangat penting dan mendesak,” ucap Saiful.
Menurut Saiful, persoalannya bukan boleh atau tidak boleh, tapi alasannya apa? Karena kalau soal boleh dan tidak boleh, itu akan kembali ke masalah konstitusi.
Konstitusi membatas kekuasaan eksekutif dua periode, lima tahun masing-masing periode. Untuk membuat perubahan, konstitusi memberi wadah. Untuk menampung aspirasi perubahan masa kekuasaan, konsitusinya harus diubah dengan cara menambahkan pasal-pasal tertentu melalui amandemen.
Berita Terkait:
SMRC Ungkap Ada 72% Pemilih Kritis di Pemilu Presiden 2024
Survei SMRC: PDIP dan Gerindra Unggul Bila Pemilu Dilakukan Sekarang
Wacana Tunda Pemilu 2024, KSP: Sikap Presiden Jokowi Konsisten
Tunda Pemilu 2024, Yusril Ihza Mahendra: Bisa Timbul Konflik Politik
Walaupun konstitusi memberi wadah, pertanyaannya, menurut Saiful, adalah apakah setiap saat kita boleh melakukan amandemen.
“Tidak bisa begitu. Harus ada alasannya. Dalam sejarah, amandemen konstitusi Indonesia baru dilakukan setelah reformasi, dan dengan alasan obyektif yang kuat, krisis ekonomi dan politik hingga terjadi kerusuhan dan presiden Suharto mengundurkan diri,” paparnya.
“Bahkan memberlakukan kembali UUD 1945, itu dilakukan dengan dekrit. Dan itu bersamaan dengan matinya demokrasi Indonesia pada tahun 1959. Zaman Soeharto, kita tidak melakukan amandemen. Baru pada masa reformasi inilah kita melakukan amandemen karena alasan obyektif yang nyata tersebut,” sambung Saiful. (AFI)
Editor: Setiono
(RuPol)