RUANGPOLITIK.COM – Penambahan posisi Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) pada kabinet Presiden Jokowi menjadi sorotan, karena dinilai rawan kepentingan politik untuk penempatan Pelaksana Tugas (Plt) kepala daerah yang akan habis di 2022 dan 2023.
Selain itu, penambahan posisi wamen di beberapa kementerian itu, bertolak belakang dengan janji Presiden Jokowi yang kan membangun kabinet ramping.
Menurut Deputi Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) Partai Demokrat Kamhar Lakumani, posisi wamen di Kementerian Dalam Negeri menjadi sangat berpotensi disusupi kepentingan politik. Karena ada lebih dari 200 daerah yang masa jabatan akan habis di Tahun 2022 dan 2023, semua diganti dengan Plt.
“Kursi Wamendagri ini menjadi sensitif, apalagi pada 2022 ini akan ada 101 daerah yang kepala daerahnya berakhir masa jabatan dan 170 daerah pada 2023. Jadi total akan ada 24 plt gubernur dan 247 plt bupati/wali kota yang penempatannya menjadi kewenangan Kemendagri,” ujarnya melalui keterangan tertulis kepada wartawan, Jumat (7/1/2022).
Tugas dan fungsi Plt kepala daerah tersebut menjadi sangat vital, karena akan menghadapi Pemilu 2024 dan Pilkada Serentak 2024.
“Partai politik mana yang tidak tergiur, karena Ini berarti meliputi lebih dari 80 persen pemilih nasional, apalagi para Plt ini memiliki masa jabatan yang panjang dan menghadapi dua perhelatan politik akbar nasional, yaitu pemilu (pileg dan pilpres serentak) serta pilkada serentak,” lanjutnya.
Baca juga:
Nama-nama Calon Komisioner KPU dan Bawaslu Diserahkan ke Presiden
Politisi Demokrat itu juga menilai Presiden Jokowi telah ingkar janji, dimana pada awal masa jabatan berjanji akan membuat kabinet yang rampung, namun kenyataannya sekarang kabinet semakin gemuk dan lamban.
“Dalam praktik yang kita saksikan, baik untuk postur kabinet maupun jumlah kementerian dan termasuk penambahan jabatan wamen ini, justru bertolak belakang dengan janji Jokowi untuk membangun kabinet ramping yang gesit bekerja melayani rakyat,” terangnya.
“Yang terbentuk adalah sebaliknya, kabinet tambun yang lamban, bahkan obesitas. Ini menjadi penyakit yang berimbas pada kinerja birokrasi akibat kompromi politik yang overdosis,” pungkas Kamhar. (ASY)
Editor: Asiyah Lestari
(RuPol)