Tanduk banteng seolah tumpul berpuluh-puluh tahun di sana. Corak masyarakat Sumbar yang agamis disebut-sebut sebagai faktor utama PDIP, yang beraliran nasionalis, tak pernah mendapat hasil memuaskan.
RUANGPOLITIK.COM —Tak cuma pilpres, PDIP pun tak bisa mendapat hasil memuaskan di pemilihan anggota legislatif baik level DPR maupun DPRD Provinsi Sumatera Barat.
Reputasi PDIP di tanah Minang tak pernah bagus. Empat kali pemilihan presiden secara langsung digelar pascareformasi, sebanyak itu pula calon presiden PDIP mendapat hasil buruk di Sumatera Barat.
Tanduk banteng seolah tumpul berpuluh-puluh tahun di sana. Corak masyarakat Sumbar yang agamis disebut-sebut sebagai faktor utama PDIP, yang beraliran nasionalis, tak pernah mendapat hasil memuaskan.

Hasil Minor Capres PDIP di Sumbar
Megawati Soekarnoputri hingga Joko Widodo tak mampu memperoleh suara mayoritas di provinsi itu. Bahkan, tak ada capres PDIP selama ini yang mampu mengamankan setidaknya 25 persen suara di Sumatera Barat.
Pada Pilpres 2004 putaran pertama, Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi cuma mampu meraih 5,92 persen suara di Sumbar. Mereka berada di urutan keempat, tetapi melaju ke putaran kedua berkat perolehan suara secara nasional.
Pada putaran kedua, Megawati-Hasyim hanya merengkuh 16,23 persen suara. Mayoritas suara di Sumbar, yakni 83,77 persen, diboyong Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla yang kemudian memenangkan Pilpres 2004.
Catatan serupa berulang di Pilpres 2009. Megawati-Prabowo Subianto hanya mendapat suara 5,89 persen di Sumatera Barat. Kala itu, mereka kalah oleh pasangan SBY-Boediono.
Capaian terbaik capres PDIP dicatatkan Jokowi pada Pilpres 2014. Saat itu, Jokowi-Jusuf Kalla mendapatkan 23,08 persen suara. Namun suara mereka masih terpaut jauh dari Prabowo-Hatta Rajasa yang mendapatkan suara mayoritas hingga 76,92 persen.
Pada edisi pilpres terakhir, suara Jokowi di Sumbar anjlok. Jokowi-Ma’ruf hanya meraih 14,08 persen suara. Adapun Prabowo-Sandiaga meraih 85,92 persen.
Kisah suram PDIP di Pilpres 2019 juga dibarengi kegagalan pemilu legislatif di Sumbar. Tak ada caleg PDIP yang terpilih menjadi anggota DPR RI dari dua daerah pemilihan di Sumatera Barat.

Asa Moncong Putih
Berbagai catatan buruk di Sumatera Barat tak membuat PDIP menyerah. Mereka memasang target tinggi untuk menang di Sumbar pada Pemilu 2024.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto paham bukan tugas mudah untuk mendapat banyak suara di Sumbar. Tetapi, bukan berarti mustahil.
PDIP bertekad bangkit di Pilpres 2024 bersama Ganjar Pranowo. Hasto pun terjun langsung ke Sumbar untuk membakar semangat kader-kader banteng di tanah Minang.
“Kita akan tunjukkan, meski Presiden Jokowi belum banyak diterima di Sumbar, namun melalui kerja bersama dan capres Pak Ganjar Pranowo, kita meyakini bahwa sebagai manusia yang bertakwa pada Tuhan, hati masyarakat akan selalu terbuka akan kebaikan budi pekerti,” ujar Hasto di Kota Padang pada 4 Juli lalu.
Sementara itu, Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDIP di Sumatera Barat Yogi Yolanda mengaku telah mengidentifikasi kelemahan PDIP di Sumbar. Mereka juga sudah merumuskan sejumlah taktik untuk memenangkan Ganjar di Sumbar.
Salah satu hasil analisis adalah kurangnya pendekatan PDIP terhadap kelompok agamis.
Yogi menyebut Sumbar adalah kantong suara Masyumi pada Pemilu 1955. Hal itu menunjukkan Sumbar didominasi pemilih yang begitu peduli pada nilai-nilai agama. Dengan demikian, PDIP akan mencoba mendekati tokoh-tokoh agama untuk memperbaiki perolehan suara.
“Kita akan berdialog dengan kelompok-kelompok Islam, di Sumbar ada Muhammadiyah, ada NU, ada persatuan tarbiyah islamiyah, dan ada kelompok tarekat,” kata Yogi dikutip, Jumat (14/7).
Yogi optimis upaya itu akan berjalan baik. Terlebih lagi bakal calon presiden PDIP saat ini, Ganjar, punya nilai keagamaan yang kental.
“Mas Ganjar seorang sosok yang keluarganya harmonis, istrinya dari kalangan tokoh agama, cucu dari kiai NU, berhijab dan dekat dengan ibu-ibu pengajian. Ini keunggulan yang tidak dimiliki calon lain. Misalnya, Pak Prabowo,” ujarnya.
Selain itu, PDIP juga akan menyasar pemilih muda dari generasi Z dan milenial. Yogi beralasan kelompok pemilih ini jumlahnya begitu banyak di Pilpres 2024.
PDIP, ucapnya, akan mengaktifkan mesin sayap-sayap partai. Organisasi yang didominasi anak muda itu akan diterjunkan untuk memompa suara PDIP di kalangan muda.
“Sasaran kita selain anak muda, kalangan ibu rumah tangga karena dua kelompok ini menyumbang suara terbanyak DPT (daftar pemilih tetap) hari ini,” ujarnya.

Nyerah Sebelum Perang
Pengamat politik dari Universitas Andalas Asrinaldi menilai ada dua faktor yang membuat kandidat-kandidat presiden PDIP gagal total di Sumbar.
Faktor pertama adalah perbedaan pandangan politik.
Masyarakat Sumbar yang didominasi orang Minangkabau punya perhatian tinggi terhadap isu-isu keislaman. Sementara itu, PDIP adalah partai nasionalis sekuler. Menurutnya, sebagian besar masyarakat Sumbar akan menilai PDIP tak mewakili pandangan mereka.
Selain itu, ada beberapa isu terkait agama yang digunakan untuk menyerang PDIP. Dia merasa PDIP perlu menyiapkan kader-kadernya yang didengar warga Sumbar untuk meluruskan isu-isu miring itu.
Faktor lainnya adalah kader-kader PDIP kurang gigih mengampanyekan capres. Asrinaldi menyebut baliho kader PDIP yang memperkenalkan Ganjar kalah banyak dari kader-kader pendukung Prabowo Subianto dan Anies Baswedan.
Dia berpendapat kader-kader PDIP di Sumbar sudah menyerah karena selama ini tak dapat simpati besar warga Sumbar. Padahal, Asrinaldi melihat banyak potensi suara di sana belum tergarap.
“Belum terorganisir dengan baik. Mereka sudah hopeless PDIP enggak menang di Sumbar. Memang tidak akan menang, tetapi naik suara kan bisa. Sudah kalah sebelum berperang,” kata Asrinaldi dikutip, Kamis (27/7).
Asrinaldi menyarankan PDIP menggunakan kader-kadernya yang merupakan tokoh masyarakat Sumbar. Selain itu, PDIP perlu merumuskan tawaran program yang sesuai keinginan warga Sumbar.
Ia yakin PDIP punya potensi. Beberapa daerah di Sumatera Barat–Mentawai, Dharmasraya, dan Pasaman Barat– juga dikuasai PDIP. Ia yakin tiga daerah itu cukup untuk memompa suara Ganjar di 2024.
“Kalau kita asumsikan pendukung di tiga kabupaten tadi memang tegak lurus dengan pilihan partai, mestinya Ganjar tidak 5 persen seperti di survei Indikator. Artinya, perlu ada upaya intensif PDIP memasarkan Ganjar sesuai kebutuhan,” ungkapnya.
Tugas Berat Ganjar Pranowo
Peneliti Indikator Politik Indonesia Bawono Kumoro menilai Ganjar tetap sulit menang di Sumbar dalam Pilpres 2024 mendatang.
Bahkan, ia begitu yakin Ganjar akan gagal mendapat banyak suara di sana.
Alasan pertama adalah minat rendah masyarakat Sumbar memilih PDIP dan capresnya. Dia berkata hal itu tampak dari hasil beberapa pilpres terakhir dan survei berkala Indikator Politik Indonesia.
Senada dengan Asrinaldi, Bawono menyinggung perbedaan ideologi. Masyarakat Minang menganut nilai-nilai agama yang begitu kental, sementara PDIP dikenal sebagai partai nasionalis.
“Ini bisa dijelaskan karena PDIP secara ideologi kan lebih ke arah nasionalis sekuler, yang kurang dalam sisi religiusitas. Dipersepsikan oleh pemilih cenderung tidak ramah dengan agenda-agenda keislaman,” kata Bawono dikutip, Senin (24/7).
Jika merujuk data Kementerian Agama, mayoritas masyarakat Sumbar atau sekitar 97 persen menganut agama Islam. Jumlah penganut Islam mencapai 5,5 juta jiwa di sana.

Alasan kedua menurut Bawono adalah posisi elektabilitas Ganjar yang tidak dalam keadaan prima. Berdasarkan survei Indikator Politik Indonesia terakhir, Ganjar cuma duduk di posisi kedua secara nasional.
Bawono menilai kondisi ini membuat Ganjar akan kesulitan memompa suara di wilayah yang bukan kantong suara PDIP seperti Sumbar. Dia membandingkan pencapaian Jokowi saat elektabilitas secara nasional kuat.
“Saya kira saya berani mengatakan hampir mustahil untuk Ganjar Pranowo unggul di Sumbar ya. Bahkan, Pak Jokowi yang 2014 dan 2019 kuat, juga tidak unggul di Sumbar. Apalagi dengan Pak Ganjar Pranowo,” ujarnya.
Meski demikian, Bawono menilai suara di Sumbar tak bisa dianggap sebelah mata atau bahkan ditinggalkan.
Dia memahami suara di Sumbar berkisar 2 persen dari total suara nasional. Akan tetapi, perolehan suara di Sumbar dianggap menjadi patokan suara kandidat presiden di daerah-daerah lain yang punya basis suara kelompok religius.
“Secara psikologis menjadi rujukan, kiblat aspirasi kelompok pemilih yang berideologi religiusitas tinggi, keislaman,” pungkas Bawono.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)