Terkait hal itu, Tomi T. Prakoso, anggota Orari dan Dosen Ilmu Komunikasi pada STBA Yapari-ABA Bandung menyampaikan pandangannya dalam tulisan berikut ini. Kepada pembaca yang bijak lagi bestari, selamat membaca.
RUANGPOLITIK.COM —Salah satu puncak perkembangan komunikasi nirkabel dewasa ini dapat kita lihat dari dimilikinya smartphone oleh hampir semua orang.
Benda yang kini seukuran genggaman tangan itu dalam sejarahnya berawal dari segala sesuatu yang sangat besar ukurannya.
Salah satu hal yang menjadi tonggak dalam linimasa sejarah perkembangan radio dunia ada di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Persisnya adalah di Gunung Puntang, Bandung Selatan. Pemancar radio pernah didirikan di sana pada awal abad ke-20 oleh Dr. Ir. Cornelius Johannes de Groot dan diresmikan penggunaannya pada 5 Mei 1923.
Terkait hal itu, Tomi T. Prakoso, anggota Orari dan Dosen Ilmu Komunikasi pada STBA Yapari-ABA Bandung menyampaikan pandangannya dalam tulisan berikut ini. Kepada pembaca yang bijak lagi bestari, selamat membaca.
Ukuran pemancar radio di Gunung Puntang itu sangat besar, bahkan dapat dikatakan gigantik, karena pemancarnya berupa satu gedung besar yang terletak di Gunung Puntang. Sementara ketika kemampuannya berkembang dari telegrafi (morse) ke telefoni (komunikasi dengan suara), penerimanya kemudian didirikan secara khusus di Rancaekek.
Antenanya berupa bentangan kabel sepanjang 2 km yang dipasang di antara celah di antara gunung Haruman dan gunung Puntang. Dibutuhkan daya listrik ribuan kilowatt yang diperoleh dari pembangkit listrik. Jarak pancaran yang harus ditempuh dari lokasi itu ke Belanda kurang lebih 12.000 km.
Tahun ini, kita memperingati 100 tahun peresmian radio tersebut. Sayangnya, bangunan radio tersebut sudah hancur sebagai bagian dari upaya strategi bumi hangus di masa perjuangan kemerdekaan.
Ketika penjajahan Jepang dimulai, semua berpikir agar aset yang ditinggalkan Belanda tidak dipakai Jepang. Pemancar radio tentu memiliki nilai strategis bagi upaya penjajahan. Apalagi ketika itu Jepang melakukan propaganda bahwa perang Asia Timur Raya dikobarkan Jepang sebagai upaya membebaskan seluruh Asia dari penjajahan Barat.
Hal itu termasuk propaganda yang dilakukan di Indonesia yang menyatakan bahwa Jepang adalah “saudara tua” Indonesia. Para pejuang kemerdekaan di Bandung selatan pun menghancurkan bangunan Radio Malabar dengan dinamit.
Gagal Memancar Ketika Diresmikan
Setelah selesai melakukan studinya dengan judul De Invloed van Het Tropisch Klimaat op de Radioverbinding (The Influence of Tropical Climate on the Radio), de Groot datang ke Indonesia pada akhir 1916 dan dipromosikan sebagai kepala Radio Service.
Ketika itu Pemerintah Belanda sudah menginstruksikan pendirian Radio Malabar, yang akhirnya pada 1918 selesai berdiri. Dia segera ditempatkan di Radio Malabar dan melakukan eksperimen-eksperimen.
Ketika saatnya pengiriman telegrafi berhasil dilakukan, kabar itu sampai hingga Belanda yang mengapresiasi usahanya. Hingga akhirnya Pemerintah Belanda membeli dua pemancar dengan merek Telefunken. Satu untuk ditempatkan di Radio Malabar, dan satu lagi adalah untuk stasiun radio di Kootwijk, Belanda. Namun, ketika itu di Radio Malabar sudah memiliki pemancar yang dibeli oleh uang pribadi de Groot yang menggunakan teknologi Spark dengan merek Arc Poulsen.
Meski akhirnya pemancar Telefunken sudah diterima di Radio Malabar, de Groot tetap menggunakan Arc Poulsen-nya. Sementara itu di Radio Kootwijk yang digunakan adalah pemancar Telefunken yang instalasi dan pengelolaannya dilakukan oleh Dr. N. Koomans.
Keduanya akhirnya memastikan bahwa mereka sudah dapat saling mengirim dan menerima telegrafi. Ketika itulah digagas peresmian Radio Malabar.
Suatu hal yang tidak diduga khalayak ketika itu adalah ketika Radio Malabar diresmikan pada 5 Mei 1923 oleh Gubernur Jendral Dirk Fock, yang salah satu agenda acaranya adalah berupa demo pengiriman pesan ke Belanda, demo tersebut gagal.
Pesan tidak dapat terkirim, dan tentu sama sekali tidak ada balasan dari Belanda. Kejadian ini mendapat liputan media cetak dan menghasilkan cercaan publik terhadap de Groot.
Komisi penyelidikan terhadap kejadian tersebut dibentuk, tetapi berakhir dengan pemahaman terhadap penyebabnya dan de Groot tidak mendapatkan sanksi.
Menurut de Groot hal tersebut terjadi karena sehari sebelumnya terjadi hujan badai yang mengacaukan instalasi antenna Berg yang panjangnya kurang lebih 2 km itu.
Analisis lain mengatakan bahwa upaya komunikasi itu dilakukan siang hari. Siang hari adalah saat ketika lapisan ionosfir tidak kondusif untuk melakukan komunikasi jarak jauh melalui radio. Namun, Radio Malabar tetap diresmikan 5 Mei 1923.
Situasi membaik karena keesokan malamnya pesan berhasil dikirim ke Ratu Belanda dan langsung mendapatkan balasannya.
Dari Transfer Pengetahuan ke Kemerdekaan
Hal yang menarik adalah, de Groot bukan hanya menerapkan teknologi. Dia juga melakukan eksperimen-eksperiman. Ketika itu dibutuhkan sejumlah komponen yang harus diimpor dari luar negeri.
Untuk mendatangkannya, diperlukan waktu berbulan-bulan. Namun, kerap pesanan tidak sampai karena kapal pengangkutnya mengalami pembajakan di laut.
Akhirnya diputuskan beberapa komponen dibuat sendiri. Sehingga, di Radio Malabar diadakan workshop pembuatan sejumlah komponen radio. Ketika itu dijalankan konon sering terdengar suara ledakan karena digunakannya gas tertentu.
Pada workshop tersebut tercatat ada sejumlah warga pribumi yang terlibat. Posisi mereka adalah sebagai pekerja pada Radio Malabar. Hal itu membuat pengetahuan tentang keradioan yang tadinya hanya eksklusif milik warga Belanda akhirnya menyebar ke warga pribumi.
Workshop yang tadinya khusus diperuntukkan bagi perbaikan Radio Malabar akhirnya menjadi tempat transfer pengetahuan tentang pembuatan komponen radio.
Dengan santernya berita bahwa ketika itu sudah bisa mengirim pesan ke luar negeri melalui Radio Malabar, adanya kemampuan sejumlah individu yang dapat mangutak-atik pemancar dan penerima radio, lalu dimungkinkannya impor radio penerima (receiver) yang lebih portabel berkat kemajuan teknologi saat itu mulai berdirilah semacam komunitas penggemar radio.
Ketika itu, keberadaan radio masih sangat jarang, baik radio penerima, apalagi pemancar radio. Kepemilikannya melahirkan gengsi tertentu. Namun, keadaan itu berubah ketika Jepang memulai penjajahannya.
Radio dalam bentuk apa pun dilarang, disita, dan dimusnahkan. Tidak sedikit yang ditangkap lalu dihukum penggal karena dituduh Jepang sebagai mata-mata. Ketika itu konon meski dengan ancaman larangan dari Jepang, sejumlah orang tetap aktif menggunakan radio.
Mereka yang berjiwa amatir radio membentuk semacam gerakan bawah tanah dalam rangka perjuangan.
Pada sejarah kemerdekaan Indonesia tercatat bahwa sejumlah pemuda menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok dan mendesak mereka berdua untuk merumuskan kemerdekaan Indonesia.
Ternyata hal itu diawali informasi yang berasal dari Radio. Konon, radio itu adalah yang dimiliki Chairil Anwar (penyair Indonesia) dan Des Alwi yang ketika itu adalah salah satu barang bekas yang mereka perjualbelikan.
Melalui radio itu terdengar kabar bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Kabar tersebut disampaikan ke Sutan Syahrir yang merupakan paman dari Chairil Anwar.
Bila tidak ada kabar dari radio itu, Jepang mungkin akan lebih lama menancapkan kuku penjajahannya, meski Jepang sudah menyerah pada Sekutu ketika itu.
Refleksi untuk Satu Abad Sejarah Radio
Asosiasi kata ‘radio’ secara umum seperti mengarah pada satu fenomena saja, padahal kata itu bisa berarti radio penerima atau radio pemancar.
Radio pemancar pun bisa berarti pemancar radio swasta niaga, sebenarnya bisa pula berarti radio pemancar seperti yang digunakan para pegiat amatir radio. Apa pun itu, popularitas dalam pengertiannya yang konvensional kini telah menurun.
Akan tetapi, dengan hadirnya internet, semua dapat bermuara ke jaringan dunia itu. Termasuk radio pun kini disalurkan lewat internet. Bila didengarkan lewat telpon genggam, perangkat yang disebut telepon cerdas (smartphone) itu pun sebenarnya bekerja dengan prinsip-prinsip radio.
Mungkin akan ada yang mengatakan setelah seabad, umat manusia baru dapat merasakan bentuk canggih dari evolusi perkembangan teknologi radio seperti sekarang ini. Namun, apa yang dapat kita catat sebagai refleksi dari Seabad sejarah komunikasi radio di Indonesia?
Pertama, tidak dapat dimungkiri bahwa didirikannya Radio Malabar oleh Belanda adalah bagian dari upaya melanggengkan penjajahan. Sejarah menunjukkan, ternyata memang begitu jalannya kita diperkenalkan dengan radio.
Upaya penjajah dalam membangun teknologi dalam arti tertentu justru membawa keterbukaan pada pengetahuan, energi baru, bahkan justru semangat bagi dunia untuk terbebas dari penjajahan.
Dengan itu, kita dapat mengizinkan adanya celah berpikir untuk mengapresiasi bahwa ini tidak melulu soal penjajahan, tapi kenyataan bahwa ini adalah untuk pertama kalinya fenomena radio hadir di tanah air kita.
Oleh karena itu, diperlukan apreasiasi sejarah yang harus terus menerus digaungkan. Bahwa suatu ketika di Bandung Selatan, di Gunung Puntang, pernah berdiri bangunan pemancar radio bersejarah.
Dulu, almarhum Gamal Sugiyono (orang Jerman dengan nama Indonesia) pernah mendirikan papan informasi sejarah Radio Malabar. Namun, setelah bertahun-tahun terpapar hujan dan sinar matahari, akhirnya roboh dan disingkirkan.
Untuk waktu yang cukup lama, siapa pun yang datang ke Gunung Puntang sama sekali tidak tahu sejarah apa yang pernah ada di tempat itu.
Sebuah upaya membangun papan informasi telah dilakukan pada 2020. Namun hal itu pun hanya satu dan huruf-hurufnya telah pudar karena pengaruh cuaca.
Diperlukan perhatian serius dan pemangku kepentingan sejarah dan pemerintah setempat untuk memperbaiki, membangun lagi, dan memfasilitasi informasi sejarah di sana.
Kedua, Radio mungkin semakin pudar popularitasnya. Boleh jadi siaran radio AM, sudah menghilang, siaran radio SW dari dulu sudah sangat sedikit peminatnya karena kualitas audionya kurang nyaman di telinga.
Sementara untuk siaran radio FM, mungkin generasi muda lebih suka mendengarkannya lewat smartphone. Itu pun daya tariknya harus bersaing dengan konten-konten dari berbagai media sosial dan situs hiburan lainnya.
Bila itu yang terjadi, hal yang berbeda terjadi di kalangan amatir radio. Radio yang digunakan kalangan itu adalah pemancar untuk melakukan komunikasi timbal balik.
Kebermanfaatannya sama sekali tidak teralihkan oleh internet. Justru ketika semua infrastruktur teknologi komunikasi tumbang, radio yang digunakan kalangan amatir radio adalah satu-satunya yang dapat digunakan.
Ketika gempa melanda Cianjur beberapa waktu lalu, sinyal selular tidak dapat diandalkan untuk komunikasi. Saat bencana, komunikasi radio masih tetap dapat relevan.
Ketiga, apakah dengan hadirnya segala sajian informasi yang berupa gambar dan suara, hal itu lebih efektif dibanding suara saja? Dalam bahasa ilmu komunikasi bisa dikatakan, apakah rich media selalu lebih efektif?
Radio tidak sekaya televisi atau sajian video di internet. Namun, sajian yang hanya berupa suara memiliki tempatnya tersendiri. Terbukti, di internet kini muncul apa yang dinamakan podcast yang memang memiliki riwayatnya sendiri.
Akan tetapi, hal itu dapat kita lihat semacam metamorfosis radio dalam konteks baru. Kalau radio menjadi semakin tidak populer di kalangan generasi muda, hal itu tidak mengurangi kekuatannya sebagai medium komunikasi.
Seabad usia komunikasi Radio Indonesia-Belanda, kalau pembahasannya adalah soal sejarah, hal itu baru satu hal. Hal lainnya yang harus bagi kita cermati adalah apresiasi bahwa jalan panjang perkembangan teknologi komunikasi telah memungkinkan kita terhubung satu sama lain.
Secara nyata, hidup kita telah jadi lebih baik. Hal yang harus kita lakukan bersama adalah memastikan bahwa segala sesuatunya tetap untuk kebaikan, untuk lebih mengaksentuasikan kemanusiaan kita.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)