RUANGPOLITIK.COM — Isu penundaan Pemilu 2024 terus bergulir menyusul alotnya perdebatan di Mahkamah Konstitusi perihal sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup. Apalagi pemaksaan penerapan sistem ini untuk diterapkan pada Pemilu 2024 dianggap terlalu gegabah dan dapat merusak sistem yang sudah dibangun selama ini.
Tak hanya itu, evaluasi sistem pemilu di lapisan DPR dan DPRD harus dievaluasi ulang terutama untuk mengatasi segala bentuk problematika yang ditimbulkan oleh masing-masing sistem.
Kritikan ini disampaikan oleh Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini.
“Penundaan pemilu dengan alasan butuh waktu adaptasi pemberlakuan sistem proporsional tertutup, saya berpandangan tidak ada alasan untuk itu,” katanya, Jumat (17/2/2023).
MK saat ini sedang melakukan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terhadap UUD NRI Tahun 1945, khusus terkait dengan sistem pemilu.
Titi menekankan bahwa semua pihak mestinya mendukung MK untuk menjaga kemandirian dan kemerdekaannya dalam memutus perkara ini serta tidak mengganggu konsolidasi dan stabilitas penyelenggaraan Pemilu 2024 yang sudah berjalan masuk pada fase krusial.
“Jangan diputus oleh MK sebab sistem pemilu sejatinya merupakan hasil konsensus politik yang harus dirumuskan oleh pembentuk undang-undang secara demokratis dan partisipatoris,” kata pengajar pemilu FK UI ini.
Namun, lanjut Titik, itu sebaiknya dilakukan pasca-Pemilu 2024 oleh para legislator terpilih. Dengan demikian, RUU Pemilu bisa menjadi agenda pertama pembentuk undang-undang hasil Pemilu 2024.
Tidak ada alasan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan sistem pemilu yang saat ini sedang diuji menjadi instrumen untuk menunda Pemilu 2024.
Dalam beberapa putusan pengujian UU Pemilu, menurut Titi, memang tidak serta-merta memberlakukan putusannya untuk pemilu yang sedang berjalan.
Misalnya, kata dia, Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 terkait pemilu serentak untuk memilih anggota legislatif dan presiden/wakil presiden, baru berlaku setelah Pemilu 2014.
“Mestinya MK konsisten dengan ketentuan konstitusi tersebut,” kata Titi yang pernah sebagai Direktur Eksekutif Perludem.
Ia menegaskan bahwa MK tidak punya dasar konstitusional untuk memutus dengan langgam seperti itu. Apalagi, Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 menyebut pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)