RUANGPOLITIK.COM — Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah, menyinggung soal huru-hara yang terjadi di Indonesia menjelang Pemilu 2024. Hal itu disampaikan melalui salah satu acara yang dipimpin oleh Karni Ilyas.
Tak hanya itu, sistem pemilihan dengan presidential threshold alias syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakilnya juga membuat pilihan calon pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 akan terbatas.
“Kira-kira kalau calon presidennya cuma dua, pada 14 Februari 2024 masih 8 bulan sebelum Pak Jokowi berakhir, sudah ada presiden terpilih,” pungkas Fahri.
Menurutnya, Joko Widodo (Jokowi) akan mengalami dua kali karena saat ini ia masih bertatus sebagai Presiden Indonesia, tapi orang lain justru sudah meributkan masalah pencapresan.
“Jokowi masih jadi presiden setidaknya tersisa 2 tahun 1 bulan. Karena 20 Oktober 2024 beliau baru berhenti,” ucapnya dikutip kanal YouTube tvOneNews pada Minggu (18/12).
“Tapi orang sudah survei-survei, orang sudah mencalonkan diri, partai politik sudah bertengkar secara internal karena ada kadernya yang maju dan sebagainya,” ungkapnya.
Ia sendiri menyayangkan karena di Indonesia belum ada sistem yang mengatur jadwal ‘perang’ politik sehingga ujung-ujungnya merugikan rakyat.
“Sebenarnya ini tidak ada jadwal dan yang jelek sebenarnya bagi rakyat. Jadi dalam masyarakat demokrasi itu kita perang kalau bisa sebentar saja menjelang masuk TPS,” imbuhnya.
Menurutnya, sistem itu bisa dibuat seperti diatur setahun menjelang pencoblosan sekaligus dipastikan agar dalam kurun waktu tersebut, jalannya pemerintahan tidak terganggu.
Pasalnya, dengan tidak adanya aturan seperti itu, ia menilai para elite politik justru tidak berhenti untuk perang, bahkan saat ini sudah ramai membahas calon presiden sehingga menciptakan gangguan kepada presiden yang masih menjabat saat ini.
Fahri menyampaikan, “Misalnya gangguan partai politik yang tadinya mendukung dia bahkan ada kadernya yang duduk di kabinet tapi kok sudah punya calon lain. Gangguan-gangguan seperti ini kan kasihan presiden.”
Fahri menilai hal itu bisa menciptakan kedua yang lebih menakutkan karena orang sudah datang ke presiden yang terpilih untuk mengucapkan selamat dan mungkin ada juga yang membuat rumah transisi.
Jika terjadi seperti itu, maka akan timbul potensi mengganggu jalannya roda pemerintahan.
“Ujung-ujungnya merugikan rakyat. Rakyat sebenarnya enggak mau kita bertengkar begini. Rakyat maunya nyoblos sebentar setelah itu balik kerja lagi. Bersawah, mau berternak, kerja di pabrik,” tuturnya.
Fahri menambahkan, “Ini orang tawuran semua nggak ada sistem dan ini lebih kejam dari perang yang diregulit seperti perang Rusia Ukraina yang masih ada aturannya. Tapi perang Pemilu di Indonesia enggak ada aturannya.”
Selain itu, ia juga merasa elite politik terlalu sibuk berselisih soal Pemilu 2024 sehingga membuat pembahasan hak-hak rakyat menjadi seperti diacuhkan, termasuk lembaga-lembaga resmi pemerintahan seperti DPR.
Fahri menegaskan, “Kesibukannya mengatur pemilu. Padahal kesibukan mereka sebenarnya adalah menjaga kesejahteraan rakyat.”
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)