RUANGPOLITIK.COM — Fakultas Hukum, Kampus Universitas Muhammadiyah Sumatra Barat (UM Sumbar) didatangi sejumlah Intel Polresta Bukittinggi Jelang pemutaran Nonton Bareng (Nobar) Film Dirty Vote, Kamis (29/2), pukul 19.00 wib. Nobar ini dilaksanakan di Kampus III UMSB, Aur Kuning, Jln. By Pass, Kota Bukittinggi.
Nobar bersama mahasiswa dan akademisi kampus ini tampak langsung dihadiri oleh ketiga aktor film dokumenter Dirty Vote yakni tiga pakar hukum tata negara Indonesia, yakni Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar.
Dr.Wendra Yunaldi, SH, MH, Pakar Hukum Tata Negara yang juga selaku Dekan Fakultas Hukum UM Sumbar menanggapi terkait kehadiran sejumlah Intel Kepolisian di kampus UM Sumbar tersebut.
“Apa alasan kehadiran pihak Intel Polresta Bukittinggi? Film Dirty Vote dianggap sensitif? Ini kan bagian dari diskusi publik dan itu dilakukan oleh orang-orang akademik, Feri Amsari sebagai Dosen Unand, Zainal Arifin Muchtar, Dosen UGM, dan Bivitri yang juga dalam banyak hal sebelumnya dilibatkan oleh pemerintah dalam diskusi dan pembentukan peraturan perundang-undangan.” kata Wendra Yunaldi, Dekan Fakultas Hukum UM SUMBAR.
Dr.Wendra Yunaldi, SH, MH melihat kedatangan Intel Polresta Bukittinggi ke kampus UM Sumbar terkait pemutaran film Dirty Vote seperti ancaman kebebasan berekspresi.
“Ini yang dibiasakan dalam konsep negara demokrasi. Berdialog baik dalam pro dan kontra, dan ini adalah bentuk ancaman dari kebebasan berekspresi pihak kampus, dan orang kampus sah saja mengkritik dan memberikan masukan apa yang terjadi dalam persoalan kenegaraan.”kata Wendra Yunaldi.
Dr.Wendra Yunaldi, SH, MH, melihat kejanggalan atas kehadiran intel kepolisian ke kampus UM Sumbar.
“Hampir tiap Minggu,Kampus UM Sumbar mengadakan diskusi terbuka untuk umum kenapa tidak pernah ditanya, dan ini adalah bagian akademik tidak perlu meminta izin selama dilakukan dilingkungan kampus, kecuali dilakukan diluar. Itupun bersifat pemberitahuan” kata Wendra.
Sementara itu, Raju Moh Hazmi, S.H., M.H., Dosen & Direktur Lembaga Kajian Hukum dan Korupsi Fakultas Hukum UM Sumbar membenarkan kejadian tersebut.
“Iya benar sekali. Kira2 pukul 12 siang, menjelang siang tadi. Saya ditelpon oleh kaprodi FH UM Sumbar kampus III, Pak Mahlil Adriaman. Kaprodi meminta saya untuk ke kampus untuk bertemu dengan beberapa orang Intelpolres Bukittinggi. Mereka (intel) ingin menemui saya untuk melakukankonfirmasi, investigasi dan berbincang soal adanya agenda pemutaran film Dirty Vote di gedung convention hall, kampus III UM Sumbar. Kata mereka, ketika saya ditelpon kaprodi bahwa mereka meminta izin keramaian terhadap agenda penayangan Dirty Vote ini. Pada konteks ini, saya menjadi tidak setuju dan langsung menemui kaprodi di kampus,” jelasnya.
Lanjut Raju setiba di kampus, tepatnya diruangan dekan, mereka (intel) sudah duduk bersama dengan kaprodi. Disanalah Raju diinvenstigasi, diajukan pertanyaan.
“Menurut saya (dalam argumen yang saya ajukan ketika saya dihujani pertanyaan oleh Intel), tindakan untuk menemui saya dan berbincang soal ini adalah tindakan yang sangat berlebihan dan sangat intervensionis, dan intimidatif. Penayangn Dokumenter dirty vote merupakan bagian dari implementasi freedom of ekspression sebagai fundamental right’s, beserta cerminan dari pelaksanaan kebebasan dalam konteks mimbar akademik. Hal ini dijamin oleh konstitusi, UU Pendidikan Tinggi, dan beserta derivat regulasi Ristekdikti,” paparnya.
Ia menjelaskan tujuan penayangan ini murni sebagai kanal untuk menampung berbagai perspektif dalam melihat fenomena yang diangkat di dalam film Dirty Vote. Disinilah terbentuk critical thingking oleh publik, termasuk keberpihakan oleh mahasiswa. Ini adalah materi edukasi, materi sosialisasi, dan materi untuk dilakukannya eksaminasi terhadap fenomena gunung es kecurangan pemilu yang sedang/potensial terjadi di bangsa ini.
“Saya sangat kaget ketika begitu reaksionernya intel menanggapi penayangan ini. Mereka mungkin sangat sensitif terhadap isi konten dari film atau kuat dugaan tindakan reaksioner ini merupakan antisipasi terhadap gerakan-gerakan yang akan siap muncul paska nonton bareng ini. Padahal, ini adalah perwujudan dari kebebasan dalam ranah akademik,” jelasnya.
“Apalagi terhadap isu yang dibawa mereka, bahwa harus ada izin keramaian. Sejak kapan nobar di kampus perlu izin keramaian?. Konstitusi, UU kebebasan berpendapat di depan umum, juncto Juklap Polri tidak pernah mensyaratkan izin ini, kecuali penayangan ini dilakukan di dan menggukan fasilitas publik. Sedangkan ini dilakukan di dalam kampus,” terangnya.
“Disinlah saya melihat bahwa tindakan reaksioner terhadap ini sangat kontraproduktif dengan prinsip negara hukum dan demokrasi. Prinsip esensial demokrasi seolah dikangkangi oleh tindakan seperti ini. Setelah saya jabarkan hal ini. Mereka akhirnya pergi dan meninggalkan ruangan,” ujar Raju.
Seperti diketahui Film dokumenter berdurasi 1 jam 57 menit ini adalah sebuah film dokumenter politik Indonesia yang diproduksi oleh sutradara Dandhy Dwi Laksono dan dirilis pada 11 Februari 2024. Film ini menampilkan tiga pakar hukum tata negara Indonesia, dalam menilai indikasi kecurangan pada pelaksanaan pemilihan umum Presiden Indonesia 2024.
Hingga berita ini diterbitkan ruangpolitik.com belum mendapatkan keterangan dari Kapolres Bukittinggi setelah dilakukan upaya konfirmasi via whatsApp.(Syf)
Editor: Syafri Ario, S. Hum
(Rupol)