Isu penggunaan hak angket DPR RI sedang hangat diperbincangkan usai pemungutan suara Pemilu 2024. Lalu, apakah hak angket pernah dilakukan di Indonesia, apa hasilnya?
Penggunaan hak angket mencuat usai capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo, mendorong partai pengusungnya PDIP dan PPP untuk menggunakan hak angket DPR RI terhadap dugaan kecurangan pada Pilpres 2024.
Ganjar menjelaskan, hak angket adalah hak penyelidikan yang dimiliki oleh DPR RI. Ini bisa digunakan sebagai upaya untuk menyelidiki kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) terkait penyelenggaraan Pilpres 2024.
Seperti dilaporkan Antara, Ganjar mengemukakan usulan pengguliran hak angket di DPR RI melalui rapat koordinasi Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud pada Minggu, 15 Februari 2024, sehari setelah pemungutan suara digelar.
Di lain pihak, anggota Komisi II DPR RI dari fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Guspardi Gaus, mengatakan wacana penggunaan hak angket DPR RI untuk merespon dugaan kecurangan dalam Pilpres 2024 adalah tidak tepat. Pasalnya, menurut dia, persoalan dugaan kecurangan harusnya dibawa ke ranah hukum, bukan politik. Hak angket kata dia bersifat politis.
“Kalau ada pelanggaran atau sesuatu yang dirasa tidak sesuai ketentuan terkait pemilu, ada ranah yang diberikan undang-undang kepada siapa pun yang dirugikan, untuk memperkarakan melalui jalur Bawaslu atau Gakumdu maupun DKPP,” kata Guspardi, Kamis (22/2/2024) dikutip Antara.
Lalu, Guspardi mengatakan, jika penyelesaian di Bawaslu dan Gakumdu tidak memuaskan, berdasarkan undang-undang kontestan Pilpres dapat memperkarakan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Contoh Kasus Hak Angket DPR RI Pernah Dilakukan di Indonesia dan Hasilnya
Merangkum studi tahun 2014 yang dilakukan oleh Roma Rizku Elhadi berjudul Penggunaan Hak Angket DPR Pasca Amandemen UUD RI Tahun 1945, dijelaskan bahwa hak angket telah beberapa kali digulirkan selama republik ini berdiri.
Pada era reformasi, hak angket dibentuk oleh DPR untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam skandal Brunei gate dan Bulog gate. Hasilnya ditemukan fakta-fakta dugaan penyimpangan, sehingga DPR mengeluarkan memorandum 1 kepada Gus Dur.
Hak angket juga pernah diusulkan untuk mengusut kasus penjualan dua tanker milik peramina. Penggunaan hak angket itu diusulkan oleh 23 anggota dari delapan fraksi dan disetujui rapat paripurna pada 14 Juni 2005 dan panitia angket melaporkan hasil kerjanya yang direkomendasikan oleh panitia khusus menyangkut penjualan dua tanker berindikasikan korupsi, pemerintah diminta mencari celah penyelamatan tanker.
Dihasilkanlah rekomendasi akhir dari pansus angket yaitu (1) KPK atau Kejaksaan Agung agar segera mengusut secara tuntas Laksamana Sukardi yang diduga kuat terlibat dalam kasus penjualan tanker VLCC Milik Pertamina (2) Meminta Pimpinan DPR-RI untuk menugaskan Komisi III DPR RI supaya mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Kejaksaan Agung agar segera menuntaskan kasus penjualan tanker VLCC tersebut.
Hak angket kembali diusulkan terhadap kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Kali ini hak angket diusulkan oleh 117 anggota dari delapan fraksi, dan disetujui pada Rapat Paripurna. Hasilnya, semua pihak yang meneken kontrak kerjasama wajib memuat ketentuan soal prioritas penjualan migas sebesar 40% ke perusahaan nasional, mendesak pemerintah mengajukan revisi uu migas, negosiasi ulang kontrak Blok Tangguh dan Blok Cерu, dan meninjau ulang keberadaan BP Migas dan BPH Migas.
Selanjutnya hak angket diusulkan oleh 122 anggota dari tujuh fraksi, dan disetujui di Rapat Paripura pada 17 Februari 2009. Pansus dibentuk untuk menyelidiki pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji pada 1429 H. Pansus menyelesaikan tugasnya pada 29 September 2009. Hasilnya, penyelenggaraan ibadah haji tahun 2006 dan 2008 dinilai gagal, mendesak presiden untuk memberikan tindakan tegas kepada menteri Agama periode 2004 – 2009, serta perlunya amandemen UU No 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Haji dan perlunya rancangan UU Lembaga Keuangan Haji. Hak angket DPR terakhir kali digulirkan saat penyelidikan dana bailout pemerintah sebesar 6,7 triliun ke Bank Century.
Hak angket ini diusulkan oleh 139 anggota DPR, lalu pada 1 Desember 2009 didukung oleh 503 anggota dari sembilan fraksi. Hasilnya, bailout Century dinilai menyimpang, merekomendasikan agar kepolisian, kejaksaan, dan KPK menyelidiki kasus tersebut.
Hubungan Hak Angket dan DPR Republik Indonesia
Mengutip laman resmi DPR RI, hak angket merupakan hak yang dimiliki DPR RI untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Hak angket berhubungan erat dengan DPR RI karena merupakan hak bagi para wakil rakyat untuk menjalankan fungsinya.
Adapun fungsi DPR RI yaitu diatur dalam Pasal 20A UUD 1945 Ayat (1) Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan, Ayat (2), berbunyi: “Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam Pasal-Pasal lain dalam Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.”
May Lim Charity dalam Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 14 No. 03 – September 2017 : 245 – 254 menjelaskan, penggunaan hak angket berkaitan dengan proses penyelidikan ketatanegaraan bukan penyelidikan sebagaimana yang dimaksud dalam KUHAP, meskipun menggunakan nomenklatur yang sama.
Tentu dengan mempertimbangkan rumusan secara sistematis dari maksud penggunaan hak angket tersebut. Jika melihat maksud dari pada penggunaan hak angket dapat dilihat dalam Pasal 164 ayat (4) huruf b dan c Peraturan Tata Tertib No 1 Tahun 2014 menyatakan, hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak DPR RI untuk menyatakan pendapat atas tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum, baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/ atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.(BJP)
Berbagai Sumber
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)