Oleh: Dr M Sholeh Basyari | Direktur Ekskutif CSIIS (Center for Strategic on Islamic and International Studies)
RUANGPOLITIK.COM – Masa depan dan nahkoda PKB tampaknya segera berganti. Setelah hampir 18 tahun cak Imin memimpin partai kyai ini, kekalahannya dalam pilpres 2024 menjadi isyarat bahwa PKB butuh penyegaran.
Di samping itu, relasinya sejak peralihan ketua umum PBNU dari kyai said ke Gus Yahya, menjadi catatan lain bahwa stakeholder NU gagal dikendalikannya.
Ada sejumlah langkah yang bisa diambil cak Imin untuk melanjutkan kepemimpinan di PKB atau menutup karirnya dengan kekalahan tragis. Pertama, jika dia ingin tetap di PKB, maka harus secepatnya keluar dari koalisi pasangan Amin dan menata kembali relasi politik dengan “presiden terpilih”.
Kedua, langkah untuk segera keluar dari koalisi Amin, adalah pilihan realistis. Terlambat sedikit saja, PKB akan tertinggal gerbong. PKB berbeda dengan PDIP dan PKS: sama sekali tidak punya karakter dan endurance sebagai oposan.
Ketiga, sumber-sumber valid menyebut bahwa Ali Masykur Musa telah bertemu dan mendiskusikan serta minta ijin kepada “presiden terpilih” Prabowo Subianto, menyangkut masa depan dan posisioning PKB paska Pilpres.
Keempat, tetapi bisa saja cak Imin, menunjukkan sisi kenegarawanannya dengan tidak tertarik lagi memimpin PKB. Kalo ini menjadi pilihannya, patut disyukuri. Sebab, jika seenaknya dia keluar dari koalisi pasangan Amin, di tengah timnas mereka menyiapkan dan mencurahkan segala energi untuk mendesakkan pilpres putaran kedua, layak dipertanyakan integritas dan etika kepemimpinannya.
Tetapi, cak Imin idealnya flashback ke pilpres-pilpres sebelumnya. Pilpres sebagai sirkulasi elit nasional, selalu menghadirkan tradisi menang-kalah yang diiringi dengan gugatan. Artinya, gugatan atas hasil Pilpres oleh pasangan yang kalah, selalu kalah. Semakin lama cak Imin larut dalam “drama kecurangan” semakin mudah Ali Masykur Musa berkonsolidasi.(BJP)
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)