RUANGPOLITIK.COM – Agama menjadi sangat krusial ketika dijadikan isu kampanye pasangan capres-cawapres. Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan, tidak membawa agama, menjadi salah satu cara mencegah politik identitas di Pemilu 2024.
Karena agama menjadi hal cukup sensitif, beberapa pengamat menanggapi persoalan agama ini. Efriza pengamat politik dari Citra Institute mengatakan, narasi agama dibawa umumnya untuk menyasar kepada kategori pemilih dengan dasar sosiologis.
“Berbicarakan agama, juga memang kontestasi pemilu tak bisa dilepaskan dari politik identitas. Politik identitas yang dibangun adalah semangat identitasnya, misal kategori pemimpin dengan dasar orang asli daerah, semangat asli daerah adalah wujud dari politik identitas. Hal biasa saja untuk menguatkan basis pemilih,” kata Efriza kepada Rupol.
Dia mengatakan, hanya saja politik identitas akan berpengaruh negatif jika dibungkus oleh politik demagogi. Di mana disebutkan Efriza, ini memanipulasi emosional warga untuk kepentingan kekuasaan semata.
“Nah, agama dalam kampanye politik masih bisa dianggap positif jika dijelaskan kepada konsep universal. Sayangnya banyak politisi, membangkitkan politik identitas dengan napas demagogi. Yang dibangkitkannya adalah kemarahan, kebencian, ia membangun sentimen emosional,” jelasnya.
Dia menambahkan, sehingga jadi tidak kategori pendidikan politik tetapi bermakna membungkus agama dengan politik demagogi yang akhirnya ia berkuasa tetapi mendegradasi demokrasi itu sendiri.
Menurut Efriza, membawa pendekatan narasi agama untuk kepentingan menyangkut harkat martabat dari nilai-nilai kemanusiaan, itu tak masalah, agama dalam substansi universal.
“Yang tak boleh adalah merendahkan sesama, kemanusiaan sesama, dalam upaya meraih dukungan, simpatik publik, maupun untuk tujuan meraih kekuasaan semata tetapi menghadirkan gesekan keras di tingkat masyarakat. Agama itu adalah untuk kebaikan sesama, memanusiakan manusia, dan menjadi bagian dari nilai-nilai sila pertama Pancasila,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, Efriza menegaskan, nilai-nilai agama adalah yang bersifat membangun, mengingatkan, dan universal itu yang perlu disampaikan, misal mengingatkan bahwa jabatan itu adalah amanah, dan amanat adalah nilai-nilai sakral, yang harus dijaga dan tak boleh diingkari.
“Hal ini boleh saja, dengan tujuan menyasar kategori perilaku pemilih sosiologis,” kata dia.
Selain itu, pengamat politik ujang Komarudin juga mengatakan hal senada dengan Efriza. Dia mengatakan, agama boleh dibawa dalam politisi.
Ini dikatakan Ujang, karena agama merupakan tuntunan aturan dalam kehidupan sehari. Ujang menyebutkan, ini seperti aturan bernegara, di mana agama juga mengatur masalah bermasyarakat.
Namun dia menegaskan, bila agama dijadikan alat serang atau legitimasi dalam politik itu yang dilarang.
“Kalau agama sendiri konsepnya menjadi kebaikan maka boleh dibawa dalam politik. Karena sebenarnya agama tidak bisa dipisahkan di dalam politik,” ungkap Ujang.
“Tetapi kalau agama itu dipolitisir, dijadikan alat untuk kepentingan politik tertentu, itu yang tidak boleh. Jadi harus dibedakan,” tambahnya.
Editor: M. R. Oktavia
(Rupol)