RUANGPOLITIK.COM – Wakil Ketua Komisi II DPR RI Yanuar Prihatin menilai putusan Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu sangat dipaksakan. Dia menilai putusan itu seperti mencari celah untuk akomodir cawapres tertentu.
“Kepentingan politik terasa lebih kuat ketimbang supremasi hukum,” kata Yanuar dalam rilisnya, Jumat (20/10/2023).
Yanuar menjelaskam, batas usia minimal 40 tahun sama sekali tidak diatur dalam konstitusi. Bahkan syarat-syarat lain pun bagi capres dan cawpares tidak ditegaskan dalam konstitusi.
“Ini artinya, konstitusi menyerahkan semua soal ini kepada pembuat undang-undang, yaitu DPR dan Pemerintah,” tegasnya.
Anggota Fraksi PKB ini menuturkan MK memang tetap mempertahankan usia 40 tahun bagi capres dan cawapres sebagaimana diatur dalam UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Diketahui Putusan MK menyebutkan bahwa syarat capres/cawapres “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”
Pernah menduduki jabatan yang dipilih melalui pemiliihan umum dan pemilihan kepala daerah adalah norma baru yang tidak pernah diatur dalam UU Pemilu.
“Ini bentuk kreatifitas berpikir yang kebablasan sehingga terkesan dipaksakan. Maka wajar saja tidak semua hakim MK menyetujui bulat putusan ini karena dianggap ‘aneh’ dan ‘di luar nalar’. Empat hakim menolak, dan 5 hakim setuju. 2 hakim yang setuju itupun membatasi kepala daerah yang dimaksud hanya selevel gubernur, bukan bupati/wali kota,” sesalnya.
Bahkan dia menilai MK melampaui kewenangannya soal syarat capres/cawapres yang menjadi kewenangan pembuat undang-undang. Ini preseden buruk bagi kewibawaan dan kehormatan MK.
Namun jangan lupa Putusan MK ini bersifat final dan mengikat, sehingga tidak ada pilihan harus dilaksanakan. Hanya saja, putusan ini memerlukan revisi UU Pemilu untuk menjadi pedoman KPU dalam pendaftaran capres/cawapres.
Waktu sudah sangat mepet. Pendaftaran capres/cawapres dibuka tanggal 19-25 Oktober 2023. Kemungkinan besar mekanisme perubahan UU Pemilu akan ditempuh melalui Perppu.
“Sepanjang belum ada perubahan UU Pemilu, maka Putusan MK tersebut belum bisa dijadikan acuan. Maka, KPU sebaiknya tetap berpedoman pada UU yang masih berlaku,” tutupnya. (dfp)
Editor: M. R. Oktavia
(Rupol)