Menanggapi isu yang beredar itu, Moeldoko membantahnya. Ia mengaku tak memiliki kepentingan apapun, baik dengan Panji Gumilang maupun Ponpes Al Zaytun.
RUANGPOLITIK.COM —Nama Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jenderal (Purn) Moeldoko sempat dikaitkan dengan kasus dugaan penistaan agama pengasuh Pondok Pesantren Al Zaytun, Panji Gumilang.
Ia dirumorkan menjadi sosok yang melindungi eksistensi ponpes yang berada di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat tersebut.
Menanggapi isu yang beredar itu, Moeldoko membantahnya. Ia mengaku tak memiliki kepentingan apapun, baik dengan Panji Gumilang maupun Ponpes Al Zaytun.
“Saya tidak punya kepentingan apa pun dengan Panji Gumilang. Tidak ada kepentingan politik, tidak ada kepentingan ekonomi, tidak ada,” katanya, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari Antara, pada Kamis, 6 Juli 2023.
Menurut Moeldoko, isu tidak berdasar tersebut kemungkinan ditujukan untuk menjatuhkannya dan kepentingan lain di luar dirinya. Ia juga menyinggung soal Pemilihan Umum (Pemilu).
“Biasa itu ada orang goreng (isu), tujuannya sangat jelas bagaimana men-downgrade saya. Saya cukup tahu petanya seperti apa. Tetapi yang perlu kita pahami, masyarakat Indonesia perlu paham, kenapa Al Zaytun selalu muncul setiap (menjelang) pemilu? Ini kan aneh, pasti ada sesuatu yang memainkan untuk apa? Bisa saja untuk kepentingan elektabilitas, dan seterusnya,” ujarnya.
Moeldoko pun berkelakar bahwa pihak yang menudingnya menjadi sosok pelindung Al Zaytun kemungkinan memiliki persoalan.
“Kalau saya dituduh jadi backing itu datanya dari mana? Orang-orang yang ngomong mungkin salah minum obat,” ucapnya.
Moeldoko Pernah Kunjungi Al Zaytun
Moeldoko tak menampik bahwa ia pernah mengunjungi Al Zaytun dan berkomunikasi dengan pengurus ponpes tersebut. Saat momen itu terjadi, Moeldoko masih menjabat sebagai Panglima Daerah Militer (Pangdam) III/Siliwangi.
“Waktu (menjabat sebagai) Pangdam, saya pernah ke sana. Apa kepentingan saya? Saya sebagai Pangdam, Panglima Daerah Militer memastikan bahwa di daerah itu terbangun kondisi yang baik. Waktu itu sempat dengar-dengar ada sumber-sumber NII (Negara Islam Indonesia) di sana, dan (saat itu) sulit bisa masuk ke dalam,” katanya.
“Saya sampaikan kepada Danrem, kalau kamu tidak bisa membuka pintu Al Zaytun, kamu saya pecat. Akhirnya, bisa berkomunikasi ke dalam. Akhirnya bisa masuk ke dalam. Misi saya, bagaimana persoalan kebangsaan bisa menjadi konsumsi di situ, tidak ada yang lain,” tuturnya melanjutkan.
Ia pun menilai bahwa isu sensitif yang berpeluang memicu reaksi publik seharusnya perlu dimitigasi dan dikelola sehingga tak menjadi liar.
“Saya pikir memang kita harus kelola dengan baik, karena ini persoalan-persoalan sensitif. Maka perlu dikelola dengan baik sehingga persoalan-persoalan itu tidak berlarut-larut nanti menjadi liar sehingga sulit. Saya pikir kita (negara) hadir di situ untuk mengelola,” ujarnya.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)