RUANGPOLITIK.COM —Politik di Indonesia mulai terlihat sejak fase dukung mendukung dan usung-mengusung calon presiden dimulai. Dimulai dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan mengapungkan nama Anies Baswedan sebagai Capres 2024.
Kemudian, muncul nama Prabowo Subianto yang diusung partai Gerindra dan berkeyakinan rekan koalisinya PKB akan mendukung. Terakhir, ada nama Ganjar Pranowo dicetuskan PDIP.
Pertanyaannya mengapa perlu gabungan partai atau berkoalisi untuk mengusung calon presiden.
Di sinilah kekisruhan itu dimulai.
Semuanya bermula dari aturan presidential threshold 20%. Presidential Threshold, atau ambang batas presiden, diberlakukan di Indonesia mulai pada Pemilihan Presiden tahun 2019.
Ketentuan ini ditetapkan melalui UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Calon presiden dan wakil presiden harus didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memperoleh 20% kursi atau 25% suara sah di DPR atau memperoleh 25% suara sah secara nasional dalam pemilu legislatif terakhir.
Dengan pemberlakuan Presidential Threshold, partai politik harus mencapai ambang batas tersebut agar dapat mengusung calon presiden mereka.
Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa calon presiden memiliki dukungan yang cukup signifikan dalam lembaga legislatif atau secara nasional sebelum dapat maju dalam pemilihan presiden.
Presidential Treshold telah menjadi subjek perdebatan yang intens dalam konteks demokrasi. Meskipun di beberapa negara aturan ini dianggap perlu untuk menjaga stabilitas politik, namun pendekatan ini dapat dikritisi sebagai antitesis demokrasi yang inklusif.
Pembatasan Partisipasi Politik
Aturan presidential threshold 20% membatasi partisipasi politik bagi partai-partai kecil dan calon independen. Hal ini menciptakan hambatan yang signifikan bagi mereka yang ingin ikut serta dalam proses politik secara merata. Dengan demikian, aturan ini dapat dianggap sebagai bentuk pembatasan terhadap hak warga negara untuk berpartisipasi dalam proses politik, yang seharusnya menjadi salah satu pilar demokrasi yang kuat.
Oligarki Politik
Aturan ini berpotensi memperkuat dominasi partai politik besar dan menciptakan oligarki politik. Dengan memperkenankan hanya partai-partai dengan dukungan signifikan untuk mencalonkan kandidat presiden, aturan ini mengurangi persaingan politik yang sehat dan membatasi ruang bagi partai-partai baru atau alternatif untuk bersaing secara adil. Akibatnya, partai politik yang sudah mapan dan terhubung dengan kekuatan ekonomi atau elit politik dapat terus mempertahankan posisi dominan mereka, menjauhkan demokrasi dari prinsip inklusivitas dan keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi.
Ketidakadilan Representasi
Aturan presidential threshold 20% juga menimbulkan ketidakadilan dalam representasi politik. Partai-partai politik yang tidak mampu mencapai ambang batas tersebut tidak akan diwakili dalam pemilihan presiden, sehingga suara dan aspirasi pemilih yang mendukung partai-partai tersebut tidak terwakili secara langsung dalam proses politik.
Ini melanggar prinsip dasar demokrasi yang mengedepankan penghargaan terhadap keberagaman dan pluralisme dalam wakil rakyat.
Penghambatan Demokrasi Egaliter
Aturan presidential threshold 20% dapat menjadi penghalang bagi demokrasi yang egaliter. Dalam demokrasi yang sejati, setiap suara harus dihargai dan diberikan kesempatan yang sama untuk berkontribusi dalam proses politik. Namun, aturan ini cenderung memberikan keuntungan lebih kepada partai-partai besar dan mengabaikan suara minoritas atau kelompok yang kurang terwakili. Akibatnya, aturan ini melanggengkan kesenjangan politik dan menghambat terciptanya sistem politik yang lebih inklusif dan adil.
Sisi Buruk Presidential Treshold 20 Persen
Ada beberapa sisi buruk mengenai Presidential Treshold 20 persen.
Pertama, pembatasan partisipasi politik. Aturan ini dapat menghambat partai-partai politik kecil atau baru untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses politik. Dengan persyaratan yang tinggi untuk mendapatkan jumlah suara yang signifikan, partai-partai kecil atau baru mungkin kesulitan untuk mencapai ambang batas tersebut. Hal ini dapat mengurangi pluralisme politik dan menciptakan hambatan bagi partisipasi politik yang inklusif.
Kedua, pengurangan alternatif kandidat. Presidential threshold yang tinggi dapat membatasi pilihan calon presiden yang tersedia bagi pemilih. Hanya partai-partai besar yang mampu memenuhi syarat akan memiliki akses untuk mencalonkan kandidat mereka. Hal ini dapat mengurangi variasi ideologi politik dan opsi pemilihan yang ada, membatasi ruang bagi pemilih untuk memilih calon yang sesuai dengan preferensi mereka.
Ketiga, monopoli kekuasaan. Aturan ini dapat memperkuat dominasi partai politik besar yang sudah mapan dan menghambat kemunculan partai politik baru yang dapat membawa ide-ide baru dan pemikiran segar dalam sistem politik. Hal ini dapat mengakibatkan monopoli kekuasaan oleh partai-partai yang sudah ada, dengan mengabaikan persaingan yang sehat dan pembaharuan politik yang mungkin dibawa oleh partai-partai baru.
Keempat, potensi oligarki politik. Dengan membatasi partisipasi politik dan pilihan calon, aturan presidential threshold dapat menciptakan kondisi yang mendukung terbentuknya oligarki politik. Partai-partai besar yang mendominasi politik memiliki kendali yang lebih besar atas proses politik dan dapat mempertahankan kekuasaan mereka tanpa adanya persaingan yang signifikan.
Hal ini berpotensi mengarah pada konsentrasi kekuasaan pada segelintir kelompok atau individu, merusak prinsip demokrasi yang inklusif.
Kerugian-kerugian ini bukanlah sesuatu mutlak, tetapi kemungkinan-kemungkinan yang perlu diperhatikan dalam merancang sistem politik yang mengatur presidential threshold untuk jangka panjang.
Setiap keputusan yang berkaitan dengan aturan politik harus mempertimbangkan, prinsip-prinsip demokrasi, inklusivitas, dan pluralisme politik yang penting bagi pembangunan negara yang demokratis.
Sisi Baik Presidential Treshold 20%
Stabilitas politik menjadi salah satu argumen yang sering diajukan adalah perlunya menjaga stabilitas politik dalam sistem politik. Presidential threshold yang tinggi dianggap sebagai langkah untuk mencegah fragmentasi politik yang berlebihan dan instabilitas pemerintahan.
Dengan mengharuskan partai-partai politik mencapai ambang batas tertentu, peraturan ini bertujuan untuk mendorong partai-partai untuk bekerja sama dan membentuk koalisi yang kuat sehingga dapat memperkuat stabilitas politik di negara tersebut.
Efisiensi pemerintahan akan tercapai dengan mengurangi jumlah kandidat presiden yang dapat mencalonkan diri, peraturan presidential threshold dianggap dapat meningkatkan efisiensi dalam proses pemilihan presiden. Dalam sistem dengan ambang batas yang tinggi, hanya kandidat-kandidat yang memiliki dukungan yang signifikan yang dapat mencalonkan diri, sehingga mengurangi kompleksitas dan biaya pemilihan yang tinggi.
Filter kualitas kandidat akan dicapai dengan menerapkan ambang batas yang tinggi, peraturan ini dianggap sebagai filter untuk memastikan bahwa hanya kandidat-kandidat yang memiliki dukungan yang signifikan yang dapat bersaing dalam pemilihan presiden. Dalam pandangan ini, ambang batas bertujuan untuk memastikan bahwa kandidat-kandidat yang mencalonkan diri memiliki popularitas yang mencerminkan keinginan mayoritas pemilih, sehingga meningkatkan kualitas kandidat yang bersaing dalam pemilihan.
Efektivitas kebijakan akan dicapai dengan membatasi jumlah partai politik yang dapat mencalonkan kandidat presiden, peraturan ini dianggap dapat meningkatkan efektivitas kebijakan. Dalam sistem dengan ambang batas tinggi, partai politik yang berhasil mencapai ambang batas akan memiliki dukungan yang lebih kuat dan lebih mampu menghasilkan kebijakan yang konsisten dan berkelanjutan.
Pihak yang mendukung peraturan presidential threshold menganggap bahwa ambang batas ini penting untuk menjaga stabilitas politik, meningkatkan efisiensi, memastikan kualitas kandidat, dan meningkatkan efektivitas kebijakan. Argumen-argumen ini menekankan pentingnya memiliki kendali yang lebih ketat dalam proses politik untuk mencapai tujuan yang dianggap positif bagi negara.
Kritik atas Sisi Baik Presidential Treshold 20%
Argumen-argumen yang disampaikan mengenai sisi baik PT 20%, dapat diterapkan tanpa adanya peraturan presidential threshold sebesar 20%.
Beberapa negara memilih untuk tidak menerapkan ambang batas semacam itu dan masih berhasil mencapai stabilitas politik, efisiensi pemerintahan, pemilihan kandidat berkualitas, dan efektivitas kebijakan.
Sebagai contoh, beberapa negara menggunakan sistem proporsional terbuka di mana partai-partai kecil memiliki kesempatan yang lebih baik untuk memperoleh kursi di parlemen. Dalam sistem ini, partai-partai kecil masih memiliki kesempatan untuk berkontribusi dalam proses politik dan mempengaruhi pembentukan kebijakan, sementara tetap mempertahankan keragaman politik yang lebih inklusif.
Selain itu, mekanisme lain seperti persyaratan penandatanganan dukungan atau jumlah suara tertentu dapat digunakan sebagai alternatif untuk memastikan bahwa kandidat atau partai politik yang mencalonkan diri memiliki dukungan yang cukup untuk bersaing secara serius dalam pemilihan.
Dalam konteks ini, perlu dilakukan kajian mendalam dan pemikiran yang matang untuk menentukan apakah perlu atau tidak perlu menerapkan peraturan presidential threshold sebesar 20 persen. Tujuan utamanya adalah untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara stabilitas politik dan partisipasi politik yang inklusif, serta memastikan bahwa suara dan aspirasi semua pemilih diwakili secara adil dalam sistem politik.
Presidential Treshold 20% Menyuburkan Oligarki Politik
Oligarki politik dapat mengakibatkan konsentrasi kekuasaan yang berlebihan pada sekelompok kecil individu atau kelompok. Hal ini dapat mengancam prinsip dasar demokrasi yang mengedepankan pengambilan keputusan kolektif dan pemerintahan yang berdasarkan pemilihan umum yang adil. Ketika kekuasaan terkonsentrasi pada segelintir orang atau partai politik besar, kepentingan masyarakat secara luas mungkin tidak diwakili dengan baik.
Ketidakadilan dan Ketimpangan
Oligarki politik sering kali berkaitan dengan ketidakadilan dan ketimpangan dalam distribusi sumber daya dan kekayaan. Partai politik yang dominan yang terhubung dengan kekuatan ekonomi atau elit politik dapat menggunakan kekuasaan mereka untuk mempertahankan kepentingan dan keuntungan mereka sendiri, sementara meminggirkan kepentingan kelompok minoritas atau masyarakat yang kurang terwakili.
Kehilangan Keterwakilan
Oligarki politik dapat mengakibatkan kehilangan keterwakilan dalam proses pengambilan keputusan politik. Ketika partai-partai besar mendominasi peta politik, suara dan aspirasi partai-partai kecil atau kelompok minoritas mungkin terpinggirkan. Hal ini dapat mengurangi inklusivitas politik dan membuat beberapa kelompok merasa diabaikan atau tidak diwakili dengan adil.
Oligarki Politik Momok yang Menakutkan
Kata “oligarki” berasal dari bahasa Yunani kuno. Istilah ini terdiri dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu “oligos” yang berarti “sedikit” atau “terbatas” dan “arkhein” yang berarti “memerintah” atau “menguasai”. Jadi, secara harfiah, oligarki mengacu pada sistem pemerintahan yang dikuasai oleh sedikit orang atau kelompok elit.
Jadi semua ini gara-gara Oligos Arkhein. Oligarki.
Berbagai Sumber
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)