RUANGPOLITIK.COM — Koalisi besar digagas oleh sejumlah politikus partai besar yakni Koalisi Indonesia Baru (KIB) yang beranggotakan PAN, Golkar, PPP dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) berisi Gerindra dan PKB. Bahkan PDIP juga diajak.
“Terkait dengan kepempipinannya di chapter berikut,” kata Airlangga kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (4/4/2023)
Wacana koalisi besar ini muncul usai pertemuan lima ketum parpol beberapa hari sebelumnya. Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga angkat bicara mengenai kecocokan KIB yang diawaki Golkar, PAN dan PPP bersatu dengan KKIR yang dipimpin Partai Gerindra dan PKB. Jokowi menegaskan keputusan akhir ada di tangan ketua umum partai politik. Lantas bagaimanakah nasib Cak Imin rekan satu koalisi Gerindra?
Menurut pengamat politik Efriza dari Citra Institute mengatakan jika Cak Imin dari awal kurang diapresiasi Prabowo sebagai cawapres.
“Kans Muhaimin Iskandar memang dari dulu tidak diperhitungkan oleh Prabowo dan Gerindra. PKB hanya sebagai penggembira,” ungkap Efriza dengan satir kepada RuPol, Selasa (11/4/2023).
Koalisi yang dibangun Gerindra dan PKB hanya dilihat sebagai cara untuk merebut pemilih NU yang memang diakui Efriza massanya banyak dan kuat.
“Gerindra memang hanya ingin menguatkan sekaligus memperluas ceruk pemilih Islam dari unsur NU dan wilayah Jawa Timur. Gerindra tak berniat sama sekali terhadap Muhaimin Iskandar jadi jangan harap diperhitungkan. Muhaimin juga hanya pandai “gertak sambal” tapi tak ada pengaruhnya. Jadi diyakini dengan KKIR diperluas auto Muhaimin tereliminasi bukan lagi tidak diperhitungkan,” urainya.
Namun, juga kecil bagi Cak Imin untuk bisa bergabung dengan barisan pendukung Anies karena ada perbedaan yang tak bisa disatukan.
“Muhaimin tak bisa ngelak. Warga Nahdliyin berat menerima jika PKB berkoalisi kepada KPP dalam mengusung Anies Baswedan. Apalagi disana ada PKS yang berseberangan dan selalu pendukung PKS memilih tak akur dengan warga Nahdliyin. Andai Muhaimin ke Anies juga percuma ia bukan pemain inti hanya sebagai “pemandu sorak” semata,” ungkapnya.
Efriza juga mengkritik Muhaimin yang dianggap over pede untuk bisa masuk dalam barisan capres atau cawapres. Karena disini secara kekuatan politik figur Cak Imin kurang begitu memiliki power, melainkan hanya sebatas pendukung pemerintah saja.
“Ini malah amat memalukan PKB yang saat ini punya kursi RI-2 dan peraih suara ke-4 lebih tinggi dari Nasdem, PKS, Demokrat malah sebagai pemandu sorak semata. Andai pemain inti juga kelas dan perannya sebatas diajak menguatkan semata. Jadi ia terpaksa harus menerima barisan pemerintah. Artinya ia tak punya peran besar, sesumbar dirinya bahwa pemerintah butuh dirinya tak terbukti. Sisi lain, pedenya Muhaimin nyapres sampai haram tak nyapres, ini menunjukkan ia tidak mengukur diri,” kritiknya.
Tak hanya itu, Efriza juga melihat langkah Prabowo yang kurang sreg dengan Cak Imin yakni dengan mendekati kandidat lain yang dianggap punya figur lebih kuat.
“Jika melihat pergerakan Prabowo, ia mencoba mendekati Khofifah itu sebelum adanya wacana koalisi besar. Jika sudah menguat maka calon potensialnya adalah Ganjar Pranowo sebagai cawapres, kans Ganjar mulai menurun juga dukungan Jokowi semakin menyusut pasca penolakan Ganjar terhadap Timnas Israel yang berbuntut kepada gagalnya Indonesia sebagai penyelenggara Piala Dunia U-20. Jika PDIP enggan ikut barisan Koalisi pendukung Pemerintah Jokowi maka calon kuatnya adalah Erick Thohir atau Airlangga Hartarto, bahkan bisa saja calonnya yang tak diprediksi saat ini,” ungkap dosen Ilmu Pemerintahan ini.
Semua tinggal kesepakatan Jokowi dan ketua umum-ketua umum partai pendukung pemerintahan, intinya koalisi besar ini ingin menunjukkan Jokowi punya kekuatan mengimbangi Megawati Soekarnoputri sebagai king maker. Sulit tapi bukan tidak mungkin. PDIP menginginkan kadernya yang jadi capres. Tapi Jokowi enggan bukan saja dengan Puan Maharani tetapi juga mulai ilfiil dengan Ganjar Pranowo. Ini artinya ada persaingan Jokowi dan Megawati. Diyakini Jokowi akan menerima win-win solution PDIP sebagai capres, tapi tidak dengan Gerindra dan PDIP.
Artinya memungkinkan tiga poros koalisi pasangan calon. Tetapi koalisi pendukung pemerintah direstui oleh Jokowi, diyakini ia juga turut menginiasi, namun sisi lain Jokowi tetap mendukung PDIP sebagai petugas partai.
“Tapi ditenggarai barisan Koalisi besar, memungkinkan dipecah, ada yang bersama PDIP, terapi KKIR juga diperluas, kemungkinan KIB yang terpecah dukungannya, demi pemerintah punya dua poros koalisi,” pungkasnya. (IY)
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)