RUANGPOLITIK.COM— Di awal tahun 2023 ini, tiga besar pemuncak Capres masih dihuni oleh tiga nama yang bersaing ketat yakni Ganjar Pranowo, Anies Baswedan dan Prabowo Subianto. Bahkan dibeberapa lembaga survei popularitas Ganjar selalu lebih unggul dan teratas.
Namun hasil ini justru tak membuat Ganjar diusung sebagai capres oleh PDIP. Justru di internal PDIP arus dukungan lebih menguat ke Puan Maharani yang dianggap memiliki pengalaman mumpuni sebagai Ketua DPR dan memiliki trah Soekarno.
Kisruh ini ditenggarai menjadi konflik di internal PDIP. Sehingga Ketum PDIP Megawati masih menunda mengumumkan Capres.
Pro Kontra Hasil Survei
Sekjen Golkar Lodewijk F Paulus pernah mengkritisi hasil survei Ganjar yang unggul atas Puan hingga menyebabkan konflik internal. Meski kemudian ia mengklarifikasi ucapannya soal bentrok di PDI Perjuangan usai Ganjar Pranowo mengungguli Puan Maharani di survei. Lodewijk menyebut apa yang diucapkannya berbeda maksud.
“Saya jelaskan, bahwa permasalahannya bukan begitu. Dan saya sampaikan sebenarnya betapa jahatnya hasil survei itu bagi internal partai,” kata Lodewijk didampingi Ketua Golkar Sumut Musa Rajekshah saat menggelar konferensi pers di Hotel Santika Dyandra Medan, Jumat (23/12).
Sementara itu, respon survei atas elektabilitas Puan Maharani yang rendah dihasilkan survei juga pernah ditanggapi oleh politisi PDIP Masinton Pasaribu yang mengaku tak peduli dengan hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang menyebut jika PDIP memaksakan mengusung Ketua DPR RI Puan Maharani sebagai Capres 2024 bakal berdampak negatif terhadap partai.
“Survei itu sebagai sebuah potret yang kita gunakan, iya, tetapi bukan satu-satunya dalam variabel untuk memutuskan keputusan,” kata Masinton di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (29/9/2022).
Hal senada juga direspon politisi senior PDIP Hendrawan Supratikno menyebut elektabilitas bukan satu-satunya pertimbangan partai dalam mengusung calon presiden (capres) di 2024. Pernyataan ini untuk menanggapi moncernya elektabilitas Ganjar Pranowo dalam survei teranyar Indikator Politik Indonesia.
“Banyak faktor yang dipertimbangkan. Rekam jejak calon dalam berbagai bidang dicermati, visi kompetensi, integritas, portofolio relasi, dan aspek-aspek lain menjadi pertimbangan,” ujar Hendrawan, Kamis (5/1/2023).
Meski begitu, Hermawi merespons positif hasil survei yang menempatkan Ganjar sebagai salah satu capres dengan elektabilitas tertinggi. Namun, ia menegaskan pemilihan capres dari PDIP merupakan hak prerogatif Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum PDIP.
Penentuan Capres mengesampingkan hasil survei juga dilakukan oleh partai besar Golkar. Meski Airlangga Hartarto tak masuk dalam tiga besar hasil survei, Golkar tetap keukeuh mencalonkan Airlangga sebagai Capres.
Abaikan Survei Fokus Kompetensi Figur
Wakil Ketua Umum Partai Golongkan Karya (Golkar) Nurul Arifin menegaskan partainya akan mengusung Ketum Airlangga Hartarto sebagai calon presiden (capres) dalam Pilpres mendatang. Meskipun berdasarkan hasil survei Airlangga tidak masuk dalam kategori kandidat populer.
“Pertama saya mengkoreksi mengenai banyak calon presiden (capres) dari Golkar. Calon presiden dari Golkar cuma satu yaitu Airlangga Hartarto. Jadi sesuai dengan keputusan munas kita konsisten mengusung Airlangga Hartarto juga kami tidak geming. Saya juga sedikit bingung kalau ada orang yang terpukau dengan popularitas sementara kapabilitas dan kompetensinya tidak dilihat,” kata Nurul kepada wartawan di di Makna Cafe, Mampang, Jakarta Selatan, Sabtu (14/1/2023).
Survei Membaca Rasio Kemenangan dan Kekuatan Lawan Politik
Sementara itu, menanggapi fenomena parpol yang menolak hasil survei lembaga-lembaga kredibel terkait selera publik dan elektabilitas dinilai sebagai sesuatu yang kurang logic. Pasalnya dalam melakukan pengambilan sampel dan metode riset, lembaga survei mengacu pada kaidah-kaidah penelitian yang bisa dipertanggungjawabkan hasilnya.
Menurut pengamat politik dan Direktur Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah saat dihubungi RuPol, Minggu (15/1/2023) mengatakan jika membaca selera pemilih dan potensi kemenangan sangat penting bagi parpol terutama untuk kontestasi yang besar seperti pilpres.
“Data survei membantu partai dan kandidat memahami iklim politik di tingkat pemilih, sehingga partai miliki pengetahuan soal peluang kemenangan, dan survei juga membantu partai dalam menentukan cara pendekatan pada pemilih. Survei mampu menjelaskan hingga karakter pemilih seperti yang harus dikejar oleh masing-masing kandidat, ” jelas Dedi.
Sementara itu, menilik keputusan parpol yang tetap mengusung tokoh yang tak populer di hasil survei dinilai Dedi masih memiliki peluang tergantung dari selera pemilih.
“Elektabilitas rendah pada tokoh belum tentu tidak layak di usung, karena bisa saja ada kelompok mayoritas pemilih yang mendahulukan partai dibanding kandidat, sehingga dengan elektabilitas rendah tetapi partai mayoritas, maka masih mungkin tetap akan usung tokoh yang rendah,” tegas Dedi.
Sementara itu, Dedi juga menambahkan jika hasil survei ibarat warning bagi parpol untuk membaca rasio kemenangan. Karena target kontestasi, parpol juga tak mau rugi pasti ingin kandidatnya menang sehingga potensi lawan politikpun harus menjadi pertimbangan.
Karena itu jika ada parpol yang tetap mengusung tokoh yang sudah diprediksi lemah ditingkat elektabilitas, maka parpol harus leghowo untuk mempertimbangkan sebuah kekalahan.
“Tokoh dengan elektabilitas rendah akan kesulitan menang, potensi kalah jauh lebih besar, tetapi jika orientasinya untuk mendulang suara maksimum partai, bisa saja kandidat akan tetap maju,” pungkasnya.
Dilema Parpol di Koalisi
Tarik ulur dukungan juga terlihat dalam Koalisi Perubahan yang masih belum resmi deklarasi untuk dukung Anies Baswedan. Padahal dalam hasil survei duet Anies-AHY paling populer. Namun posisi ini membuat elit parpol PKS dan NasDem belum deal menjadikan AHY sebagai cawapres Anies Baswedan.
Begitu juga dalam koalisi Gerindra-PKB yang menginginkan agar Muhaimin Iskandar sebagai cawapres Prabowo Subianto. Namun dari hasil survei kans kemenangan Prabowo akan jauh lebih besar jika ia berduet dengan Menteri BUMN Erick Thohir. Langkah inilah yang diprediksi membuat mandegnya hubungan Gerindra dan PKB yang membuat PKB berkali-kali mengirimkan sinyal akan bubar koalisi tersebut. (IY)
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)