RUANGPOLITIK.COM — Pertemuan delapan partai politik di parlemen menggelar pertemuan di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan. Hasil pertemuan itu delapan parpol sepakat menolak sistem proporsional tertutup di Pemilu 2024.
“Pada siang hari ini, kita 8 partai politik bersatu untuk kedaulatan rakyat. Tentu pertemuan ini bukan merupakan pertemuan pertama saja, namun tadi bersepakat bahwa pertemuan ini akan dilanjutkan secara berkala, untuk mengawal sikap partai politik ini,” ujar Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto, di Hotel Dharmawangsa, Jaksel, Minggu (8/1/2023).
Airlangga mengatakan delapan parpol parlemen menolak wacana sistem coblos partai pada pemilu 2024.
“Sehubungan dengan wacana diberlakukan kembali sistem pemilu proporsional tertutup, dan telah dilakukan judicial review di mahkamah konstitusi, kami partai politik menyatakan sikap,” ujarnya.
KPU mengatakan saat ini sistem pemilu legislatif di Indonesia tetap proposional terbuka.
“Dalam menyelenggarakan tahapan Pemilu Serentak 2024, kami harus melaksanakan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 3 huruf d UU No. 7 Tahun 2017 juncto Pasal 6 ayat 3 huruf a Peraturan DKPP RI No. 2 Tahun 2017. Berkepastian hukum adalah salah satu prinsip penyelenggaraan Pemilu. Implementasi prinsip tersebut bersifat imperatif dalam mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang profesional,” ujar Komisioner KPU Idham Holik saat dihubungi, Minggu (8/1/2023).
“Sampai saat ini ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 168 ayat 2 UU No. 7 Tahun 2017 masih efektif berlaku. Dalam ketentuan tersebut, sistem pemilu legislatif di Indonesia adalah sistem proposional dengan daftar terbuka. Teks norma Pasal 168 ayat 2 UU No. 7 Tahun 2017 berbunyi: Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka,” sambungnya.
Namun Idham mengatakan KPU juga memiliki tugas untuk melaksanakan putusan MK. Dimana menurutnya hal ini sesuai dengan Undang-undang nomor 8 tahun 2011.
“Selanjutnya dalam konteks prinsip berkepastian hukum dalam penyelenggaraan Pemilu, apapun yang akan menjadi materi amar Putusan Mahkamah Konstitusi nanti, sebagai penyelenggara Pemilu wajib melaksanakannya,” kata Idham.
“Hal ini sesuai dengan norma yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 10 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011 yang berbunyi: Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding),” tuturnya.
Senada dengan Idham, Komisioner KPU Betty Epsilon Idroos mengatakan pihaknya akan fokus pada tupoksi KPU yakni terkait pelaksana Undang-undang.
“KPU fokus pada tupoksi KPU, bahwa KPU adalah pelaksana dari UU. Pilihan sistem pemilu adalah keputusan pembentuk UU. Apapun putusannya, KPU siap melaksanakan. Tentu dengan dukungan yang dibutuhkan pada implementasinya. Perkembangan tahapan sejauh ini dilaksanakan sesuai regulasi yang ada yaitu UU 7/2017,” kata Betty.
Betty juga memastikan pihaknya bekerja sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
“Perlu ditegaskan memang bahwa pandangan KPU tetap berpegangan pada UU. Setiap sistem pemilu ada plus minusnya, namun KPU berpegangan pada asas kepastian hukum berdasar regulasi kepemiluan yang ada,” imbuhnya.
Terkait pertemuan ini, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyatakan, pemerintah tak akan bersikap apa pun untuk menanggapi pertemuan itu.
“Silakan saja. Pemerintah tidak boleh bersikap,” ujar Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Minggu (8/1/2023).
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)