RUANGPOLITIK.COM — Integritas Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga negara yang bertanggung jawab terhadap proses Pemilihan Umum di Indonesia tingkat kredibilitasnya mulai dipertanyakan publik.
Pasalnya Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu mengancam bakal melaporkan para anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP).
Dari hasil pantauan, mereka mengeklaim menemukan sedikitnya 12 kantor KPU tingkat kota/kabupaten dan 7 provinsi mengikuti instruksi dari KPU RI dan berbuat curang saat proses verifikasi faktual partai politik peserta pemilu berlangsung.
“Jika ini benar, tentu dengan adanya proses pendalaman lebih lanjut, tidak salah kemudian disimpulkan kejahatan terstruktur, sistematis, dan masif yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu telah terjadi,” ujarnya.
Ancaman itu diberikan setelah Koalisi mengklaim menemukan sejumlah data dan fakta terkait dugaan kecurangan yang dilakukan KPU pusat kepada sejumlah KPU daerah.
Kecurangan itu berupa intimidasi sekaligus iming-iming agar KPU daerah merekayasa hasil verifikasi faktual beberapa partai politik, supaya lolos sebagai peserta Pemilu 2024.
Menanggapi indikasi kecurangan secara terstruktur KPU Pusat hingga ke daerah, maka KPU harus ditinjau ulang. Menurut pengamat politik Dedi Kurnia Syah, Direktur Indonesia Political Opinion (IPO) saat diihubungi RuPol, Senin (19/12) mengatakan perlu adanya regulasi yang kokoh terutama wewenang Bawaslu untuk menjatuhkan sanksi jika benar indikasi kecurangan tersebut terjadi.
“Hanya kepolisian, kejaksaan dan pengadilan yang berhak memutuskan serta menegaskan sanksi pada KPU. Tetapi, sebelum itu perlu ada penguatan regulasi yang memberikan kekuasaan pada Bawaslu, sekurangnya rekomendasi bawaslu menjadi wajib dijalankan oleh penegak hukum terkait aktifitas KPU, di dukung oleh regulasi penguatan DKPP,” tegas Dedi.
Karena itu, Dedi menilai harus dilakukan peninjauan dan pendalaman kembali jika memang ada parpol yang melakukan kecurangan atas keikutsertaannya di Pemilu mendatang.
“Di luar itu, hukum atas sanksi pemilihan harus diubah, peserta yang terbukti lakukan kecurangan, seharusnya dibatalkan keikutsertaannya, atau diskualifikasi, baik diskualifikasi parsial dengan menghapus perolehan suara di tempat kandidat lakukan kecurangan, maupun diskualifikasi total dengan menghapus semua perolehan suara secara total,” jelasnya.
Karena itu, menurut Dedi sebagai pihak yang bertanggung jawab atas proses penyelenggaraan Pemilu, independensi KPU sangat dipertanyakan, terutama integritas dan kejujuran dalam melakukan proses pemilihan. Karena ini menyangkut institusi negara dan kepercayaan publik yang tak boleh diselewengkan.
“Jika KPU terbukti lakukan kecurangan, semestinya hukumannya adalah hukuman mati, atau penjara seumur hidup karena kecurangannya berdampak secara umum bagi rakyat. Dan, terpenting hasil Pemilu 2024 jika ada indikasi curang, harus ada Pemilu ulang dengan komisioner baru seluruhnya,” pungkasnya.
Karena itu, Dedi menilai keprihatinannya sepanjang kewenangan Bawaslu dan DKPP sama seperti hari ini, maka tidak akan ada kemajuan penegakan terkait Pemilu. Apalagi untuk persiapan Pemilu 2024 mendatang, KPU diminta untuk transparan dan mematuhi undang-undang karena ini menyangkut administrasi negara yang sangat penting. Sehingga jika kecurangan dari awal sudah terjadi, proses Pemilu 2024 mendatang akan dipertanyakan akurasi dan transparansinya.
“Bukan dengan lakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU), pemungutan ulang hanya untuk kesalahan administrasi penyelenggara, bukan karena faktor kecurangan,” pungkasnya. (IY)
Editor: Ivo Yasmiati