RUANGPOLITIK — Kiprah politisi perempuan dalam peta politik tanah air belum memberikan peluang besar untuk bisa memimpin karena dominasi politisi pria. Hal ini terungkap dari analisa yang dilakukan terkait peluang Puan Maharani dan Khofifah Indar Parawansa, sebagai capres dan cawapres di Pilpres 2024 mendatang. Pengamat Politik Efriza saat dihubungi RuPol.com pada Jumat (21/10) mmemberikan analisanya.
“Di perpolitikan nasional memang bias gender masih kuat. Bias gender juga didukung oleh realitas elektabilitas mereka yang tidak tinggi. Dan, kurangnya tempat bagi perempuan terlibat aktif di partai-partai politik. Rekrutmen yang masih kentara dan menguat terhadap perempuan lebih dikarenakan nepotisme, popularitas untuk merengkuh suara saja contohnya artis perempuan, dan lebih besar untuk memenuhi segi kuantitas saja. Perempuan kurang diberdayakan dan dipercaya oleh partai, misal sebagai pimpinan Alat Kelengkapan Dewan, dan juga Pimpinan di tingkat-tingkat partai,” jelas Efriza.
Pengamat politik ini juga menilai, bias gender juga terlihat saat Megawati menjadi capres sebelumnya. Megawati juga dikerjai oleh Poros Tengah sehingga meski menang tetapi tidak terpilih sebagai capres di MPR. Megawati berhasil menyelesaikan kepemimpinannya juga disebabkan oleh kesepakatan para politisi dan selesainya proses amandemen UUD 1945.
“Bahkan, berikutnya Megawati tidak terpilih kembali sebagai pemimpin, dikalahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini menunjukkan Megawati tidak terus menerus berhasil dalam membangun kapabilitas dirinya,” ungkap Efriza dengan lugas.
Dan Efriza menilai kesuksesan Puan Maharani tak lepas dari bayang ibunya. Kesuksesan itu tak tampak karena Puan tak dapat membangun persepsi dirinya di publik di tengah situasi persepsi bias gender dan Puan meraih semua jabatannya karena anak biologis Megawati Soekarnoputri semata. Puan Maharani karirnya sukses tak bisa dilepaskan karena figur Megawati Soekarnoputri. Memang kinerja Puan masih dipertanyakan oleh masyarakat.
“Keberhasilan Puan mendorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi UU PKS tidak dapat menjadi suatu hal yang meningkatkan kapabilitasnya. Dukungan dan standing ovation atas kesuksesan itu dari aktivis perempuan, juga tidak menjadi sesuatu respons positif meningkatkan elektabilitas dirinya,” jelasnya.
Begitu juga keberanian Puan memuluskan kebijakan pemerintahan Jokowi tidak meningkatkan elektabilitas dirinya. Juga fakta Puan adalah sosok anggota dewan perempuan peraih suara terbanyak, dan ketua umum DPR perempuan pertama tidak meningkatkan elektabilitasnya.
“Puan Maharani memang dari berbagai survei elektabilitas rendah, juga memperlemah pasangan calonnya. Keraguan akan kinerja dan kapabilitasnya yang membuat elektabilitas dirinya rendah. Jadi potensi menangnya cenderung kecil, artinya malah memperbesar cenderung kalahnya,” ulasnya lagi.
Menurut Efriza, karir politik Puan berbeda dengan ibunya Megawati Soekarnoputri yang sukses karena adanya momentum reformasi. Ia juga memang sosok yang dapat menjadi simbol perlawanan terhadap Soeharto dan Orde Baru. Sedangkan, Puan Maharani berbeda. Ia tidak sehebat Megawati. Secara komunikasi politik ia juga masih jauh. Puan juga tidak memiliki kharismatik seperti Megawati. Juga kinerja Puan cenderung senyap.
“Ia gagal membangun personal branding dirinya, malah ia juga tidak mendapatkan dukungan penuh dari kader-kader internalnya, bahkan ia dipertanyakan hasil kinerjanya baik oleh masyarakat dan dari internal PDI-P,” ungkap dosen ini.
Dan terkait munculnya cawapres dari kalangan perempuan, Hefriza menilai peluang ini ada. Meski ada nama-nama wanita yang sudah teruji misalnya Menkeu Sri Mulyani, Menteri Perikanan Susi Pudjiastuti, Menlu Retno Marsudi, dan Khofifah Indar Parawansa.
“Posisi kesuksesan perempuan dalam kementerian tidak berbanding lurus dengan elektabilitasnya. Disebabkan mereka sosok profesional. Yang bekerja dibelakang meja. Tidak melakukan politik pencitraan, melakukan silaturahim dan pertemuan dengan masyarakat untuk sebuah upaya menaikkan level jabatannya. Mereka bekerja hanya untuk bekerja,” jelas Efriza.
Jadi mereka pekerja profesional semata, yang akan dipakai oleh beberapa presiden, malah seperti siapapun presidennya menterinya tetap dia, seperti Sri Mulyani yang dipekerjakan oleh SBY dan Jokowi. Bukan tidak mungkin hal yang sama terjadi pada Presiden terpilih 2024 mendatang, terhadap Sri Mulyani maupun Retno.
Dan ia menilai kelemahan politisi perempuan kurang memberi apresiasi pada pergerakan perempuan itu sendiri.
“Politisi perempuan juga memang saat ini tidak juga menunjukkan keseriusan keberpihakan kepada perempuan dalam isu kebijakan. Semestinya politisi perempuan menunjukkan ia membawa suara perempuan dan memperjuangkan isu perempuan dan anak. Sayangnya mereka terjebak kepada isu yang sama dengan politisi laki-laki, sehingga tidaklah menampakkan ciri khas politisi perempuan dengan laki-laki,” jelasnya.
Sementara itu, Khofifah dan Puan adalah dua politisi perempuan yang disinyalir akan meramaikan bursa pasangan calon presiden/wakil presiden pada 2024 ini. Hanya saja kans Khofifah tidak terlalu besar, sebab ia kurang mendapatkan dukungan partai politik, dan ia kalah bersaing dengan ketua-ketua umum partai politik seperti AHY dan Muhaimin Iskandar. Sedangkan Puan Maharani cenderung dianggap mudah mendapatkan tiket hanya karena figur orang tuanya Ketua Umum PDI-P, partai yang menguat karena didasari model personalisasi partai.
“Puan Maharani memang dari berbagai survei elektabilitas rendah, juga memperlemah pasangan calonnya. Keraguan akan kinerja dan kapabilitasnya yang membuat elektabilitas dirinya rendah. Jadi potensi menangnya cenderung kecil, artinya malah memperbesar cenderung kalahnya,” terangnya.
Sementara keuntungan calon potensial datang dari Khofifah. Karena prestasi dia sebagai eksekutif daerah. Berbeda dengan nama Retno, Sri Mulyani, mereka memang pintar, sukses dalam pekerjaannya tetapi mereka bukan politisi dan bekerja dibelakang meja tidak selalu berbaur dengan masyarakat. (Ivo)