RUANGPOLITIK.COM – Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin mengusulkan agar pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2024 diundur. Usulan tersebut dengan mengatasnamakan kembali pengusaha dan pelaku usaha, serta mendasari Pandemi Covid-19.
Pengamat Politik, Efriza menilai usulan ini jelas-jelas bentuk menuju sikap inkonstitusional. Sebab, pasal 7 UUD 1945 telah mengatur bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam masa jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
“Saat ini, Presiden Jokowi diharapkan lebih arif dalam menyikapi situasi. Memundurkan Pemilu sama saja membuat kepemimpinan Jokowi akan dianggap gagal,” kata Efriza, kepada RuPol, Rabu (23/2/2022).
Lebih lanjut, Efriza mengatakan, usulan pemunduran pemilu 2024 merupakan bentuk gagasan buruk yang dilakukan oleh pendukung pemerintahan, potensi merapuhkan pemerintahan dari dalam dengan ide yang membenturkan Pemerintah dengan Rakyat.
“Usulan yang dikemukakan oleh Cak Imin menunjukkan adanya upaya anasir politik jahat yang dihadirkan untuk membuat popularitas dan elektabilitas pemerintahan terjerembab kepada perilaku tidak mendukung demokrasi,” jelasnya.
Berita Terkait:
Usulkan Tunda Pemilu, Pengamat: Muhaimin Dalam Tekanan Jokowi
Usulan Pemilu 2024 Diundur, Pengamat Minta Cak Imin Jangan Blunder
Cak Imin Minta Pemilu 2024 Diundur, Begini Alasannya…
Kepuasaan Terhadap Jokowi Naik, Masa Jabatan Presiden Diperpanjang?
Menurutnya, alasan Pandemi Covid-19 tak bisa dijadikan lagi dasar yang kuat. Sebelumnya kita telah berpengalaman saat Pilkada 2020 berhasil diselenggarakan dengan lancar dan baik.
“Pilkada 2020 saat itu sangat rawan akan persoalan kesehatan, sebab herd immunity belum terbentuk, pemerintah dan partai-partai politik malah ngotot menyelenggarakan pemilu. Nyatanya Pilkada 2020 berhasil dijalankan dengan baik dan sukses,” ujar Koordinator Dialektika 2024 itu.
Problematika ini sebaiknya Pemerintah serius mensikapinya. Sebab, saat ini Indonesia sedang mengalami permasalahan dalam distribusi dan juga perdagangan terkait kebutuhan pokok masyarakat.
Seperti, susahnya memperoleh minyak goreng. Terhentinya produksi pelaku usaha tempe dan tahu. Ini menunjukkan ada hubungan tak selaras antara pemerintah bekerjasama dengan pelaku usaha.
“Jangan sampai, kita menghadapi kembali gejolak krisis, masyarakat berbicara akan kebutuhan perut yang tak dapat dipenuhi oleh pemerintah, potensi chaos dapat terjadi di tingkat masyarakat, bahkan dapat menjalar ke daerah-daerah,” imbuh Efriza. (AFI)
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)