RUANGPOLITIK.COM-Budayawan asal Jawa Barat Uten Sutendi mengatakan mereka yang tak bisa menghargai nilai-nilai luhur adat dan budaya bangsa sendiri tak pantas berada di jajaran elite negeri.
“Mereka seharusnya mendapatkan sanksi sosial politik yang setimpal untuk pembelajaran bagi yang lain,” kata penulis berbagai buku bertema kebudayaan ini kepada RuPol, Kamis (27/1/2022).
Pandangan ini disampaikan Uten menyikapi fenomena viralnya ekpresi kemarahan masyarakat Sunda dan Kalimantan atas sikap arogansi anggota DPR RI Arteria Dahlan dan aktivis yang juga jurnalis Edy Mulyadi.
Baca Juga:
Tuntut Arteria Dahlan Dipecat, Ribuan Masyarakat Sunda Demo
Azis Syamsuddin Dituntut 4 Tahun 2 Bulan, Hak Politik Juga Dicabut
“Itu artinya, dua politisi tersebut tidak mengerti makna dari kata Sunda dan Kalimantan yang diucapkan. Di dalam kata Sunda mengandung nilai-nilai peradaban luhur yang sangat tua. Demikian juga dalam kata Kalimantan di dalamnya terdapat nilai luhur adat lokal yang selama ini berjasa menjaga keseimbangan ekosistim alam,” ujarnya.
Arteria dan Edy Mulyadi juga dinilai Uten, panggilannya, tidak faham makna nasionalisme Indonesia yang mengandung nilai-nilai luhur bahasa, adat dan kearifan lokal dari berbagai suku bangsa Nusantara.
“Oleh karena itu, siapapun yang mengaku warga Indonesia, apalagi mengaku kaum elite negeri, harus bisa saling menghargai dan menghormati bahasa dan adat istiadat masing-masing suku bangsa,” tegas Uten.
Namun demikian, dia mengajak masyarakat Indonesia untuk menyikapi fenomena munculnya kemarahan para tokoh dan masyarakat adat di tanah air dengan sudut pandang yang positif.
Terlepas siapa dan apa yang memicunya, kemarahan tersebut menunjukkan kemunculan kesadaran eksistensial dari kaum adat saat ini makin kuat dan mengental.
“Dan itu hal yang sangat bagus,” kata penulis novel “Baiat Cinta di Tanah Baduy” ini.
Selama ini kata Uten, eksistensi kaum adat dan kearifan Nusantara kurang mendapatkan perhatian. Bahkan sebagian besar elite negeri cenderung mengabaikan, seolah nilai-nilai adat dan kearifan lokal bangsa ini tidak ada, atau dianggap sudah mati.
Baca Juga:
Majelis Adat Sunda dan Minang Laporkan Arteria Dahlan ke Polda Jabar
Sebaliknya, mereka makin mendominasi konten narasi di berbagai momentum dan media sosial dengan membawa doktrin dan jargon agama, politik, serta ekonomi dengan bingkai kebudayaan dari luar, seolah kebudayaan dari luar itu lebih baik dan lebih modern serta paling hebat sehingga tak mau mengindahkan keluhuran nilai-nilai kebudayaan bangsa sendiri.
“Mereka mengagungkan budaya luar lewat jargon agama dan modernisasi tanpa sikap kritis. Apakah yang mereka bawa itu murni nilai nilai budaya yang baik entah dari Barat, Cina maupun Arab, atau malah sebaliknya, yakni hanya rongsokan budaya Barat, Cina atau Arab,” tegasnya.
Padahal kearifan lokal dan adat istiadat Nusantara merupakan kekayaan bangsa yang tak ternilai yang tak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain di dunia.
Nilai-nilai kearifan lokal itu selama ini, menurut Uten terbukti menjadi kekuatan penjaga atau benteng pertahanan negeri dari serangan pengaruh budaya asing.
“Coba kita bayangkan, kalau tak ada hukum dan nilai-nilai adat yang terus dipelihara para tokoh adat, entah kerusakan alam dan manusia seperti apalagi yang akan terjadi di bumi Nusantara ini,” katanya.
Baca Juga:
Tuntut Arteria Dahlan Dipecat, Ribuan Masyarakat Sunda Demo
Keberadaan kaum adat Sunda, Kalimantan, dan suku-suku lainnya di negeri ini hadir untuk memelihara keutuhan sumber daya alam dan menjaga ekosisten alam agar harmoni kehidupan manusia dan lingkungannya tetap terpelihara dengan baik.
Sikap arogansi politisi Arteria yang dianggap menghina orang Sunda dan prilaku politisi Edy Mulyadi yang juga dianggap menghina orang Kalimantan, hanya gambaran kecil dari sekian banyak sikap para elite negeri yang kurang menghargai adab dan adat serta kearifan bangsa sendiri.
Karena itu sangat wajar dan perlu jika kelompok masyarakat Sunda dan Kalimantan marah. Kemarahan masyarakat adat itu bukan hanya bermakna mengkoreksi atau memprotes sikap sombong para elite politisi tersebut, melainkan juga sebagai ekpresi kekesalan dan kekecewaan rakyat yang mempertontonkan sikap bodoh di ruang publik.
“Dengan kejadian ini, mari kita ambil hikmahnya, bahwa bangsa ini sudah saatnya balik ke hulu, ke akar. Di hululah kejernihan dan kemurnian nilai-nilai kehidupan masih terpelihara, dan dengan akar lah kita sebagai bangsa akan tumbuh besar dan kuat. Akar dan hulu itu adalah nilai-nilai adat dan budaya bangsa kita sendiri,” ajak Uten. (HER)
Editor: Beye
(Rupol)