RUANGPOLITIK.COM-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam release yang disebar ke berbagai media pada hari Selasa (10 Mei 2022) telah menyetorkan pelunasan uang denda dan uang pengganti sebesar Rp 3,5 miliar dari Mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam ternyata bertentangan dengan fakta hukum yang sebenarnya.
Sebelumnya Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menyampaikan upaya penagihan uang denda dan dan uang pengganti yang dilakukan tim jaksa eksekutor KPK merupakan langkah optimalisasi asset recovery dari hasil tindak pidana korupsi berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
“Nur Alam merupakan terpidana kasus korupsi terkait Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi dan Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi ke PT Anugrah Harisma Barrakah (AHB) di Sulawesi Tenggara tahun 2008-2014,”ungkap Ali Fikri.
Didi Supriyanto yang menjadi kuasa hukum Mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam menilai pernyataan KPK tersebut sangat tidak tepat dan membelokkan fakta hukum yang sebenarnya.
Berita Terkait:
KPK: Proses Pengisian Penjabat Kepala Daerah Rentan Korupsi
Hari Ini KPK Periksa Politikus Partai Demokrat Andi Arief
Pasca Libur Lebaran, KPK Tetap Berlakukan WFO 75 Persen
Nur Alam: ‘Dipaksa Salah Divonis Kalah’
“Pertama, pelunasan uang denda dan pengganti Rp 3,5 miliar dilakukan secara sukarela oleh Nur Alam atas kesadaran sebagai warganegara yang taat hukum, bukan karena ditagih oleh KPK. Kedua, berdasarkan amar dan pertimbangan hukum Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 123/Pid.Sus/TPK/2017/PN.Jkt.Pst tertanggal 28 Maret 2018 Nur Alam dibebaskan dari dakwaan melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana ketentuan Pasal 2 UU Tindak Pidana Korupsi dalam menerbitkan pencadangan wilayah, IUP eksplorasi dan IUP operasi produksi kepada PT AHB.,” paparnya.
Selanjutnya berdasarkan amar dan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Agung di tingkat kasasi Nomor 2633 K/PID.SUS/2018 tertanggal 5 Desember 2018 Nur Alam juga dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi penyalahgunaan kewenangan dalam menerbitkan pencadangan wilayah, IUP eksplorasi dan IUP operasi produksi kepada PT AHB.
“Mahkamah Agung justru melalui putusan kasasi tersebut malah telah membebaskan Nur Alam dari dakwaan tindak pidana korupsi seperti yang diatur di Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Majelis Hakim Agung tingkat kasasi jugha menegaskan bahwa tidak terbukti adanya dugaan kerugian negara sebesar Rp 4,3 triliun sebagaimana yang didakwakan. Dengan demikian tidak benar segala pemberitaan di media yang menyebut Nur Alam melakukan tindak pidana korupsi karena bertentangan putusan kasasi Mahkamah Agung itu sendiri,”ungkap Didi Supriyanto.
Menurut Didi yang juga mantan legislator DPR-RI dari PDI Perjuangan berdasarkan Putusan kasasi Mahkamah Agung, Nur Alam memang masih dianggap menerima gratifikasi sebesar 4,49 juta USD (Rp 40,26 miliar) sebagaimana ketentuan Pasal 12B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Atas dasar itu pula Nur Alam telah mengajukan permohonan peninjauan kembali walaupun hasilnya masih jauh dari rasa keadilan.
“Jadi urusan gratifikasi ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan penerbitan IUP kepada PT AHB. KPK salah besar kalau menganggap hal tersebut berkaitan. Seharusnya KPK lebih berhati-hati lagi dalam memberi pernyataan ke publik, jangan terkesan ada penggiringan opini yang menyesatkan publik karena tidak sesuai dengan fakta hukum dan putusan pengadilan. Berani mengingkari putusan kasasi Mahkamah Agung sama artinya melabrak tatanan hukum tertinggi di republik ini,”tegas Didi Supriyanto. (AP)
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)