Sementara itu, Wakil Rektor UIII Bidang Kerja sama, Riset dan Kelembagaan, Prof Dr Jamhari Makruf mengatakan bahwa Buya Syafii selama hidupnya didedikasikan untuk kepentingan umat dan bangsa. Buya dikatakannya adalah seorang muazin yang selalu memerhatikan kondisi bangsa yang dicintainya.
RUANGPOLITIK.COM – Almarhum Prof Dr KH Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii Maarif) yang dikenal sebagai Guru Bangsa, telah berpulang ke Rahmatullah pada Jumat, 27 Mei 2022.
Buya Syafii, bukan hanya dikenal sebagai seorang cendekiawan, guru bangsa dengan kepribadian yang humanis, tetapi juga dikenal sebagai seorang sejarawan yang kritis.
Pemikiran-pemikirannya tentang isu-isu keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan, telah membuka pintu gerbang cakrawala keilmuan bagi para penerus bangsa.
Ketua Yayasan Ahmad Syafii Maarif, Dr Rizal Sukma mengingatkan bahwa sosok guru bangsa seperti Buya Syafii bukan hanya sekedar untuk dikenang setiap tahunnya, tetapi mesti dilanjutkan pemikiran-pemikirannya.
“Buya sosok sederhana dalam penampilan, egaliter dalam hubungan sosial, dan sangat kaya ilmu pengetahuan. Beliau selama hidupnya tak kenal lelah mencintai Indonesia. Dalam situasi politik hari ini, meneladani sikap moral Buya Syafii menjadi sangat relevan. Tanpa moralitas yang tak henti disuarakan Buya Syafii, politik menjadi hampa dan tak bermakna,” jelas Rizal dalam sambutannya pada acara Syafii Maarif Memorial Lecture (SMML) II bertema “Agama, Politik dan Hak Asasi Manusia: Refleksi atas Kontribusi Syafii Maarif pada Keberagaman Indonesia”.
Sementara itu, Wakil Rektor UIII Bidang Kerja sama, Riset dan Kelembagaan, Prof Dr Jamhari Makruf mengatakan bahwa Buya Syafii selama hidupnya didedikasikan untuk kepentingan umat dan bangsa. Buya dikatakannya adalah seorang muazin yang selalu memerhatikan kondisi bangsa yang dicintainya. Sikap seperti itu, menurut Jamhari, ia pertahankan sampai akhir hidupnya dengan sepenuh hati dan pikiran.
“Buya seorang muslim yang inklusif, plural, dan bermoral. Dengan menjadi seorang muslim yang inklusif dibarengi dengan intelektual, maka tak heran jika pemikiran Buya Syafii melintasi batas teritorial.
Hal itu menjadikan Buya bukan sekadar sebagai sosok intelektual muslim yang melintasi batas agama dan teritorial, tetapi sikap hidupnya menjadi teladan baik untuk anak-anak bangsa,” tutur Jamhari.
Menurutnya kegiatan Memorial Lecture ini menegaskan bahwa kita bukan hanya mewarisi pemikiran-pemikiran Buya Syafii, tetapi juga melanjutkan dan meneladani sikap hidupnya yang sederhana.
Hadir pula Sejarawan Politik dari Australia National University, Prof Dr Greg Fealy yang memberikan pandangannya soal Buya Syafii. Meski tidak mengenal Buya Syafii secara dekat, Greg mengatakan secara personal, ia telah mengikuti perjalanan karier Buya secara mendalam, terutama pada momen-momen penting dalam kehidupan publik masyarakat Indonesia disaat isu agama dan politik sedang menjadi perdebatan.
“Buya Syafii bukan hanya seorang intelektual semata tetapi juga mantan jurnalis yang memahami bahwa menulis di media adalah soal untuk mendapatkan impact dan hal ini membutuhkan bahasa dan metafora yang gamblang,” ujarnya.
Buya, lanjutnya, tidak ingin sekadar menjadi kolumnis yang menulis opini-opini yang menyenangkan dan sedikit menggugah. Beliau ingin merenggut perhatian pembaca, menantang mereka, dan menjadikan mereka berpikir.
Lebih jauh, Greg, memotret ketokohan Buya Syafii sebagai tokoh yang konsisten dalam menerapkan prinsip-prinsipnya, lebih sistematis dan tekun dalam intelektualismenya, dan lebih bergairah dalam mengecam para pemimpin politik dan agama yang menjadi pelaku kesalahan.
Indonesia, dan bahkan setiap negara, membutuhkan sosok seperti Buya Syafii yang merupakan lentera perjuangan etika, kerendahan hati pribadi, dan kekuatan karakter dalam menghadapi kesulitan yang besar.
“Kita menghargai dan menghormati kenangan terhadap Pak Syafii dan semua yang telah beliau lakukannya untuk menjadikan Indonesia dan dunia menjadi tempat yang lebih baik,” jelasnya.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)