Oleh: Doktor M Sholeh Basyari, Direktur Ekskutuf CSIIS (Center for Strategic on Islamic and International Studies)
RUANGPOLITIK.COM – Suhu politik kian panas. Setelah Presiden Jokowi blak-blakan merestui dan mendoakan Gibran Rakabuming Raka, yang direkomendasikan Partai Golkar sebagai bakal calon wakil presiden (cawapres) pendamping Prabowo Subianto, dipastikan kongsi politiknya dengan PDIP pecah.
PDIP itu memiliki pengalaman panjang sebagai oposan. Bahkan kebesaran PDIP justru dibangun dan ditopang oleh sikapnya sebagai pressure group. Publik yakin PDIP tengah ambil ancang-ancang: kembali sebagai oposisi.
Sebagai oposisi PDIP kemungkinan akan mengambil dua langkah ini. Pertama, menarik secara serentak lima menterinya dari kabinet Jokowi.
Hal ini layak dipertimbangkan. Dengan mundur serentak, keseimbangan pemerintahan Jokowi, terganggu.
Langkah kuda Jokowi mengunakan koalisi Indonesia maju (KIM), meninggalkan PDIP, sebagai kapal bagi Gibran mengarungi samudera politik pilpres 2024, adalah bukti terang ia tidak membutuhkan partai moncong putih tersebut.
Maka, sekarang saat yang tepat bagi Megawati untuk mendeklar diri sebagai oposisi,” imbuhnya.
Sebagai oposisi PDIP kemungkinan akan mengambil dua langkah ini. Pertama, menarik secara serentak lima menterinya dari kabinet Jokowi.
Hal ini layak dipertimbangkan.
Dengan mundur serentak, keseimbangan pemerintahan Jokowi, terganggu.
Langkah ini, jelasnya, sekaligus sebagai wujud untuk ‘menghajar’ balik Jokowi.
Bukankah PDIP pernah mendesak keras NasDem agar menarik menterinya dari kabinet Jokowi, beberapa saat setelah Surya Paloh mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai Capresnya, akhir tahun kemarin?
Tetapi, bisa saja PDIP menepikan opsi “tarik menteri” dengan reasoning luhur: menjaga kondusivitas masyarakat.
Di sisi lain, bargaining posisi dan politik PDIP di benak Jokowi menjadi murah, ketika kader-kader merah masih nempel pada kekuasaan. Tetapi, sebaliknya, pasti istana akan menghitung ulang sikapnya PDIP, manakala Megawati memimpin perlawanan pada Jokowi seperti yang pernah dia lakukan pada orde baru.
Kedua, lanjutnya, ada baiknya PDIP me-rustriningsih-kan Jokowi. Hal ini penting dilakukan, meski kesannya normatif: untuk menegakkan disiplin partai.
Terapi pola dan style PDIP selama ini, ketika ada kader tidak taat dan tidak disiplin pada aturan partai, dengan riang dan ringan membuang kader tersebut. Rustriningsih misalnya, kader militan mantan Wagub Jateng tersebut merasakan kerasnya disiplin bagi kader dalam PDIP.
Kini, keluarga Jokowi diam-diam sudah mulai menguasai permainan. Ketika Kaeseng didaulat sebagai Ketum PSI, ia kemudian sibuk berkunjung ke sejumlah partai, termasuk ke PDIP.
Ini hakikatnya adalah pasemon. Pasemon, sindirin dan ejekan halus dari Jokowi ke PDIP bahwa keluarga presiden telah pindah partai.
Nah? “Oleh karena, baik di-rustriningsih-kan atau tidak, kini keluarga Jokowi bukanlah anggota PDIP lagi,” tutupnya. Kita tunggu episode berikutnya.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)