RUANGPOLITIK.COM — Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari menjelaskan cara validasi status pidana calon legislatif mendatang. Menurutnya, surat keputusan pengadilan menjadi syarat untuk mengecek status tersebut. Hal tersebut disampaikan setelah rapat bersama Komisi II DPR.
“Pada dasarnya begini, konsep awalnya di UU Pemilu itu orang yang pernah dipidana ancaman 5 tahun atau lebih itu dilarang,” ujar Hasyim di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (12/4/2023).
Dalam rapat, Hasyim juga memastikan eks narapidana termasuk koruptor baru bisa mencalonkan diri sebagai anggota legislatif setelah bebas hukuman penjara 5 tahun
Ketentuan tersebut sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 12/PUU XXI/2023 dan juga nomor 87/PUU-XX/2022 terkait syarat bakal calon anggota legislatif DPR, DPRD, dan DPRD dalam UU Pemilu.
“Menambahkan syarat calon sebagaimana ditetapkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU XXI/2023,” ucapnya.
“Lalu dari mana orang tahu seseorang (pernah) dipidana atau tidak? Kan yang buat putusan peradilan, sehingga informasi atau data yang valid seseorang pernah dipidana atau tidak itu, ya, surat keterangan dari pengadilan.”
Dalam rapat tersebut, KPU bolak-balik ditanya mengenai fungsi surat keputusan pengadilan dalam pencalonan seperti dalam draf Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang diserahkan ke DPR pada Rabu (12/4/2023).
“Kalau ada orang menyatakan dirinya tidak pernah dipidana, apa buktinya? Nah, surat keputusan dari pengadilan pernyataan tersebut disampaikan,” ungkapnya.
Bunyi putusan tersebut, kata Hasyim, tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana 5 tahun atau lebih.
Kecuali, lanjut Hasyim, secara terbuka dan jujur yang bersangkutan mengumumkan kepada publik bahwa yang bersangkutan merupakan mantan terpidana.
Putusan MK nomor 87 spesifik melarang eks terpidana dengan kriteria di atas menjadi caleg DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, sedangkan putusan MK nomor 12 untuk DPD.
“Jadi yang digunakan adalah ancamannya, bukan dakwaan maupun putusannya. Soal pengakuan secara terbuka ini kemudian kami rumuskan harus dimuat di media. Nanti kami tentukan medianya dengan kategori apa,” tukasnya.
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)