RUANGPOLITIK.COM — Mantan Kabareskrim Jenderal (Purn) Susno Duadji Selasa (21/3/2023) kemarin mendaftarkan diri sebagai Bakal Calon Legislatif (Bacaleg) dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Masih ingat dengan sosok mantan Kepala badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Komisaris Jenderal (Purnawirawan) Polisi Susno Duadji? Nama mantan perwira tinggi kepolisian itu dikenal akibat ucapan cicak versus buaya saat berseteru dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Jenderal bintang tiga itu juga pernah merasakan kehidupan di balik jeruji penjara. Susno dituduh menggelapkan dana pengamanan Pemilihan Gubernur Jawa Barat 2008 dan kasus korupsi PT Salmah Arowana Lestari. Ia sempat dijemput paksa oleh Kejaksaan Agung dan dimasukkan ke Lembaga Permasyarakatan Cibinong pada Mei 2013 lalu.
Pernah menyalahgunakan kekuasaan dan mendekam di penjara, menurut pengamat politik Efriza dari Citra Institute, kepada RuPol, Kamis (23/3/2023) mengatakan harusnya PKB menolak kandidat yang pernah dipenjara dan berstatus koruptor.
“Dari Sisi Susno Duadji jelas itu hak asasi dia mendaftar sebagai caleg. Tapi dari sisi PKB amat disayangkan. Semestinya PKB sebagai partai berbasis Islam, menolak orang-orang yang pernah dipenjara karena kasus korupsi, bukan tidak menghargai hak asasi dia,” ujarnya.
Tapi perilaku korupsi artinya ia sebagai pejabat negara tidak berintegritas, menyelewengkan kekuasaannya, ia tidak punya empati terhadap rakyat dengan mencari kesenangan diri sendiri.
Karena itu, Efriza menilai langkah PKB ini kurang bijak dalam mencalonkan figur yang dianggap kurang kredibel karena pernah tersandung kasus hukum di masa lalu.
“Ini yang amat disayangkan dari sikap PKB, semestinya PKB mencoba memberi warna mengajukan caleg yang terbaik dari yang kurang baik di masyarakat,” tegasnya.
Dan ia menilai, efek ini tak pengaruhi PKB secara elektabilitas. Meski nama Susno Duadji sudah mulai perlahan pulih menyusul perilaku baiknya dalam kasus Ferdy Sambo.
.
“Elektabilitas partai tidak akan terdongkrak melalui Susno Duadji malah yang ada keprihatinan. Meski Susno sudah berperilaku baik ketika turut mencoba menegakkan kasus Sambo. Namun disayangkan PKB sama saja dengan partai lainnya hanya mengukur “isi tas” dan nama kesohor saja, tanpa mempedulikan rekam jejaknya yang bersih,” ulas Efriza.
Sisi lain, kehadiran Susno diyakini hanya untuk agar PKB suaranya naik dalam parlementary threshold, tetapi mengesankan apakah tidak ada lagi kader atau orang yang baik di negeri ini untuk diajukan berdasarkan rekam jejaknya.
“Hanya saja, PKB sama saja umumnya partai lain mereka mengukur popularitas semata, dan “isi tas” tidak peduli rekam jejak. Terkesan, PKB sebagai representasi Islam, NU, pesantren tidak punya orang yang masih baik rekam jejaknya. PKB terkesan mengejar kenaikan jumlah calon anggota legislatif saja dengan cara instan, apalagi Susno bukan kader, ini malah menunjukkan PKB mengesankan dirinya krisis kader dan fungsi rekrutmen partai terkesan tak terlalu penting,” ujar dosen ilmu pemerintahan ini.
Efriza menilai harusnya PKB lebih prioritas usung kader yang sudah mengakar dan mengabdi sejak lama. Karena PKB tidak mau berjuang dengan kader internalnya saja yang dipoles, dibranding, agar terpilih, lebih memilih cara instan, mengajukan calon yang dianggap populer di publik meski rekam jejak ada noda.
“Sangat disayangkan citra PKB yang baik, ada sedikit ‘bermain api’ dengan mencomot calon instan dengan ada noda di rekam jejak. Meski itu adalah hak asasi manusia memilih dan dipilih selama sesuai dengan prosedur apa yang diatur oleh undang-undang,” tukasnya.
Ngetop Perang Cicak vs Buaya
Istilah Cicak vs Buaya mencuat pertama kali lewat ucapan Kabareskrim saat itu Komjen Pol Susno Duadji yang merasa teleponnya disadap KPK pada 2009. Saat itu, Susno diduga menerima uang Rp 10 M terkait penanganan kasus Bank Century. Namun hal itu sudah dibantah berkali-kali oleh Susno.
“Cicak kok mau melawan buaya,” kata Susno saat itu.
Kasus Cicak vs Buaya semakin heboh ketika Polri ‘membalas’ dengan menetapkan status tersangka kepada dua pimpinan KPK saat itu, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Mereka diduga menerima uang dari Anggodo Widjojo, adik buron kasus Sistem Korupsi Radio Terpadu (SKRT).
Namun, dugaan ini tidak pernah dibuktikan, karena kasus ini berujung pada deponering atau penghentian perkara demi kepentingan umum.
Akibat pernyataan tersebut, masyarakat mendukung KPK dan mengolok-olok polri. November 2009, Susno Duadji menyatakan mundur dari jabatan sebagai Kabareskrim Mabes Polri. Posisinya kemudian digantikan Irjen Ito Sumardi.
Usai dipecat sebagai Kabareskrim dan tidak lagi ‘berseragam’, Susno Duadji melontarkan tudingan ke tubuh polri. Pada Maret 2010, dia menyebut adanya makelar kasus yang melibatkan beberapa petinggi Polri dan melibatkan pegawai Ditjen Pajak Gayus Tambunan. Para petinggi Polri dibuat kesal dengan ulah Susno.
Akibatnya, Gayus diperiksa dan akhirnya terbukti ada penggelapan pajak yang merugikan negara miliaran rupiah.
Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Edward Aritonang mengumumkan kepada media mengenai penetapan tersangka terhadap Susno Duadji. Dan dicekal agar tidak berpergian ke luar negeri.
Susno menyebut Sjahril Djohan sebagai makelar kasus. Dia juga menuduhnya telah merekayasa kasus PT Salmah Arwana Lestari (SAL) dari perdata menjadi pidana hingga menjerat dirinya. (IY)
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)