Kementerian Agama (Kemenag) dan penceramah Miftah Maulana Habiburrahman alias Gus Miftah baru-baru ini terlibat saling sentil terkait aturan sepiker masjid untuk tadarus Alquran di bulan Ramadan.
RUANGPOLITIK.COM – Perdebatan ini bermula ketika Gus Miftah menggelar ceramah di Bangsri, Sukodono, Sidoarjo, Jawa Timur, beberapa hari lalu.
Gus Miftah saat itu membandingkan penggunaan speaker itu dengan dangdutan yang disebutnya tidak dilarang bahkan hingga jam 1 pagi.
Kementerian Agama (Kemenag) dan penceramah Miftah Maulana Habiburrahman alias Gus Miftah baru-baru ini terlibat saling sentil terkait aturan sepiker masjid untuk tadarus Alquran di bulan Ramadan.
Menanggapi hal itu, Kemenag menyatakan Gus Miftah gagal paham soal larangan menggunakan speaker saat tadarus Alquran di bulan Ramadan.
“Gus Miftah tampak asbun dan gagal paham terhadap surat edaran tentang pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala. Karena asbun dan tidak paham, apa yang disampaikan juga serampangan, tidak tepat,” tukas Juru Bicara Kementerian Agama Anna Hasbie dalam keterangannya, Senin (11/3/2024).
Anna menerangkan pada 18 Februari 2022, Kemenag telah menerbitkan Surat Edaran Nomor SE. 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.
Ana Mengungkapkan, bahwa Edaran itu bertujuan untuk mewujudkan ketenteraman, ketertiban, dan kenyamanan bersama dalam syiar di tengah masyarakat yang beragam, baik agama, keyakinan, latar belakang, dan lainnya.
Edaran tersebut mengatur tentang penggunaan pengeras suara dalam dan pengeras suara luar.
Salah satu poin edaran tersebut mengatur agar penggunaan pengeras suara di bulan Ramadan, baik dalam pelaksanaan Salat Tarawih, ceramah/kajian Ramadan, dan tadarus Alquran menggunakan Pengeras Suara Dalam.
“Edaran ini tidak melarang menggunakan pengeras suara. Silakan Tadarus Alquran menggunakan pengeras suara untuk jalannya syiar. Untuk kenyamanan bersama, pengeras suara yang digunakan cukup menggunakan speaker dalam,” terang Anna.
“Ini juga bukan edaran baru, sudah ada sejak 1978 dalam bentuk Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978. Di situ juga diatur bahwa saat Ramadan, siang dan malam hari, bacaan Alquran menggunakan pengeras suara ke dalam,” imbuhnya.
Anna turut menyebut edaran itu bukan untuk membatasi syiar Ramadan.
Menurut Ana, kegiatan tadarus, tarawih, dan qiyamul-lail selama Ramadan sangat dianjurkan.
Kendati demikian, lanjut Anna, penggunaan pengeras suaranya saja yang diatur, justru agar suasana Ramadan menjadi lebih syahdu.
“Kalau suaranya terlalu keras, apalagi antar masjid saling berdekatan, suaranya justru saling bertabrakan dan menjadi kurang syahdu. Kalau diatur, insya Allah menjadi lebih syahdu, lebih enak didengar, dan jika sifatnya ceramah atau kajian juga lebih mudah dipahami,” urainya.
Anna mengulas sebagai seorang penceramah Gus Miftah semestinya lebih dulu memahami maksud dari edaran tersebut.
“Kalau enggak paham juga, bisa nanya agar mendapat penjelasan yang tepat. Apalagi membandingkannya dengan dangdutan, itu jelas tidak tepat dan salah kaprah,” tukasnya lagi.
Merasa dikritik Kemenag, Gus Miftah menilai institusi negara ini terlalu terbawa perasaan (baper) setelah menyebutnya asbun dan gagal paham.
Gus Miftah berpendapat demikian lantaran dia merasa tak pernah sekalipun menyinggung surat edaran Kemenag RI menyangkut pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala.
“Kemenag RI makanya jangan baper, suruh saja lihat pidato Abah [red: sapaan Gus Miftah], ada enggak ditujukan kepada Kemenag, kan enggak ada? Kenapa jadi baper dengan mengatakan Abah asbun?” urai Gus Miftah dalam keterangan tertulisnya, Selasa (12/3/2024).
Gus Miftah secara tegas menyatakan bahwa tidak ada sama sekali niat dari dirinya berceramah dengan menyinggung surat edaran Kemenag RI.
“Jadi sekali lagi saya tegaskan, Gus Miftah tidak pernah menyebut surat edaran Kemenag RI terkait dengan pengeras suara, karena yang menyarankan soal pembatasan speaker tersebut bukan hanya menteri agama,” tegasnya.
Gus Miftah justru menyarankan, demi syiar Ramadan penggunaan speaker harus tetap dilakukan demi mengembalikan suasana Ramadan seperti zaman dahulu. Tapi, dia tetap menggarisbawahi soal batasan-batasan pemakaiannya.
“Ya tapi tetap semua harus ada batasnya dalam penggunaan speaker, katakanlah sampai jam 10 malam pakai speaker luar. Kemeriahan Ramadan itu harus dikembalikan seperti masa kecil orang tua kita dulu, jadi nuansa Ramadan itu terasa,” tandas Gus Miftah.
Dalam Surat Edaran Menag Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid Dan Musala mengatur tentang penggunaan sepiker masjid untuk kegiatan Syiar Ramadan, Gema Takbir Idulfitri, Iduladha, dan Upacara Hari Besar Islam.
Salah satu poinnya mengatur penggunaan pengeras suara di bulan Ramadan baik dalam pelaksanaan Salat Tarawih, ceramah/kajian Ramadan, dan tadarus Alquran menggunakan Pengeras Suara Dalam.
Kemudian kumandang takbir pada tanggal 1 Syawal/10 Zulhijjah di masjid/musala dapat dilakukan dengan menggunakan pengeras suara luar sampai dengan pukul 22.00 waktu setempat dan dapat dilanjutkan dengan pengeras suara dalam.
Sementara pelaksanaan salat Idulfitri dan Iduladha dapat dilakukan dengan menggunakan pengeras suara luar.(ANT)
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)