Oleh: Devi Darmawan|BRIN
RUANGPOLITIK.COM – Dalam pasal 299 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum memang disebutkan presiden dan wakil presiden memiliki hak untuk melaksanakan kampanye. Begitu pula dengan pejabat negara lainnya yang merupakan anggota partai politik.
Hak untuk kampanye itu dapat dilakukan dalam dua kondisi, yakni tidak menggunakan fasilitas negara dan dilakukan saat cuti.
Sementara itu, pejabat negara yang bukan anggota partai politik boleh berkampanye apabila berstatus sebagai calon presiden atau calon wakil presiden serta anggota tim kampanye atau pelaksana kampanye yang sudah didaftarkan ke KPU.
Pejabat negara yang menjadi anggota tim kampanye atau pelaksana kampanye dibolehkan untuk mengambil cuti satu hari dalam sepekan di luar hari libur.
Akan tetapi, Devi Darmawan dari BRIN menilai pasal itu tidak bisa ditafsirkan secara tunggal.
Kalau kita baca secara ‘dangkal’ memang seolah terkesan seperti itu, tapi Undang-Undang Pemilu semangatnya tidak begitu. Kita kenal betul asas netralitas, ketidakberpihakan, independensi dan itu berlaku bagi seluruh pejabat negara, pemimpin negara, termasuk presiden dan menteri-menterinya.
Masih di dalam undang-undang yang sama, tepatnya pada pasal 282 dan 283, ada larangan pejabat negara untuk mengeluarkan keputusan dan atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu tertentu.
Kalau presiden bilang tidak ada larangan di dalam Undang-Undang Pemilu, salah betul itu. Ada larangan bahwa pejabat negara tidak boleh melakukan kampanye pemilu. Bahkan di Peraturan KPU itu ditegaskan sekali lagi.
Kami melihat ini sebagai langkah beliau yang menghargai seluruh paslon, meskipun demikian, TKN akan menunggu, tadi beliau sampaikan, ‘Kita lihat nanti’ apakah hak beliau untuk ikut berkampanye atau berpihak salah satu paslon, kita akan sama-sama tunggu perkembangannya.
Bagaimana imbas keberpihakan presiden?
Keberpihakan presiden yang ditampilkan secara “vulgar” membuat program-program pemerintah “rawan disalahgunakan” untuk keperluan elektoral. Indikasi itu dia nilai sudah mulai terlihat belakangan ini.
Kita tahu bahwa ada beberapa kunjungan kerja presiden yang dilakukan dalam konteks jabatannya, tapi kita tidak bisa menihilkan bahwa kunjungan tersebut bisa saja dimanfaatkan untuk kampanye pemilu.
Kewajiban yang melekat pada presiden yang semestinya digunakan untuk melaksanakan pemerintahan justru dibungkus untuk menunjukkan keberpihakan kepada pasangan calon tertentu, misalnya pada pembagian bansos di Jawa Tengah. Itu sangat rawan.
Begitu juga dengan indikasi pemanfaatan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye.
Pada Selasa (23/1/2024), Prabowo dilaporkan oleh empat organisasi termasuk Perludem karena diduga menggunakan fasilitas negara, yakni akun media sosial X milik Kementerian Pertahanan yang mencuit soal pembangunan mes TNI di Natuna, Kepulauan Riau menggunakan tagar #PrabowoGibran2024.
Meskipun, hal itu kemudian diklarifikasi oleh Kementerian Pertahanan sebagai “ketidaksengajaan atau autotext dari administrator”. Unggahan itu pun telah dihapus.
Prabowo juga sempat dituding memanfaatkan fasilitas negara karena menggunakan helikopter milik TNI saat mengunjungi korban erupsi Gunung Marapi di Sumatra Barat untuk menyalurkan bantuan.
Setelahnya, TKN mengatakan kunjungan itu dilakukan dalam kapasitas Prabowo sebagai menteri pertahanan.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)