Telihat, mekanisme check and balanceberjalan diantara keduanya, dimana satu sama lain tidak bisa mudah saling mengkooptasi.
RUANGPOLITIK.COM – Di tengah tensi politik yang meninggi, perbincangan publik pun menyentuh isu atau dugaan kerenggangan antara Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo.
Salah satu pemantik perbincangan mengenai hal ini adalah ketika Ketua DPP PDI-P Puan Maharani, dalam sebuah pidatonya, menyinggung ada pihak yang ingin memecah belah Megawati dan Jokowi.
Hubungan Megawati-Jokowi, naik-turun. Itu sudah rahasia umum, ala hate and love relationship bahkan sejak 2014.
Ini bukan hal buruk, tanda bagus bahwa demokrasi Indonesia masih berjalan dengan baik, karena meski dua tokoh ini berkelindan dalam satu rumah partai, namun karena memiliki peran, status dan fungsi berbeda masih bisa saling tawar menentukan arah kebijakan pemerintah; satu mewakili golongan, satunya merepresentasikan seluruh rakyat.
Telihat, mekanisme check and balanceberjalan diantara keduanya, dimana satu sama lain tidak bisa mudah saling mengkooptasi.
Tentu saja kekuatan Ibu Megawati adalah partai penguasa parlemen, dan juga ketua partai dari presiden yang merupakan kader partai. Ia satu-satunya partai yang bisa menentukan sendiri nama calon presiden, dan mendominasi kekuatan legislasi di Gedung Kura-Kura.
Tapi, Pak Jokowi dengan elegan bisa mengelola kekuatan relawan, yang dipupuk, dibina, diam-diam menjadi kekuatan dan juga kadang menggunakan perangkat negara agar tidak mudah disemena-menakan partai-partai di Senayan. Sebaliknya, malah sebagai gertakan dan ancaman. Pak Jokowi adalah the best ‘mind game’ actor, in the Indonesia political history, setelah bapaknya Ibu Megawati, hemat saya.
Pengulangan sejarah pembelotan yang menimbulkan ketegangan dalam hubungan politik pada Pemilu 2004 kembali terulang.
Pada 2004 terjadi keretakan antara Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dengan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang saat itu menjabat sebagai Menko Polkam dalam Kabinet Gotong Royong.
SBY dianggap mengkhianati Megawati dengan maju sebagai capres berpasangan dengan Jusuf Kalla. Sebelumnya, SBY sudah melayangkan pengunduran diri sebagai Menko Polkam kepada Megawati.
Keretakan berbalut pengkhianatan itu diprediksi juga terjadi dengan Joko Widodo dengan megawati di Pilpres 2024.
Direktur Eksekutif Sentral Politika, Subiran Paridamos mengamati, hubungan Megawati dengan Jokowi akan retak akibat tidak satu komando mendukung bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden Koalisi PDIP, Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Sebaliknya, Jokowi malah memajukan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka menjadi bakal calon wakil presiden Prabowo Subianto.
Dia memandang, Jokowi dan juga Gibran berhasil di dunia politik setelah bergabung menjadi kader PDIP, dan mendapat dukungan menang sebagai Walikota Solo. Namun, menghadapi Pilpres 2024 arah politiknya berseberangan.
Dia memprediksi, akibat sikap politik yang berseberangan serta manuver politik yang tak wajar dilakukan Jokowi melalui politisasi lembaga peradilan, berpotensi mengulang ketegangan politik antara Megawati dan SBY.
Ketegangan politik antara Megawati dan SBY terjadi lantaran ada persaingan di Pilpres 2004. Pasalnya, muncul dugaan SBY yang sebelum kontestasi masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan di Kabinet Gotong Royong yang dipimpin Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri.
Dengan jabatan Menteri tersebut, Megawati mencurigai SBY menggunakan fasilitas negara untuk membentuk Partai Demokrat, termasuk dalam hal suksesi pemenangan Pilpres kala itu.
Hal serupa, menurut Biran juga terjadi di Pilpres 2024 ini, dimana Jokowi yang terpilih sebagai Presiden ketujuh RI karena dukungan dan usungan PDIP, juga diduga memanfaatkan jabatannya beserta suprastruktur kenegaraan.
“Maka dari itu, hubungan Megawati dan Jokowi akan mengulang hubungan yang tidak harmonis antara Megawati dan SBY. Yakni politik tidak saling tegur dan tidak saling bicara,” ulas Biran.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)