Terutama Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 ayat 1, bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
RUANGPOLITIK.COM – Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyatakan Anwar Usman saat menjabat Ketua MK terbukti membuka ruang intervensi pihak luar dalam pengambilan putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang memicu kegaduhan publik dan mengandung kejanggalan.
Namun, MKMK tidak merinci bagaimana Anwar Usman membuka ruang diintervensi secara sengaja.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Arjuna Putra Aldino, mendesak DPR RI untuk menggunakan Hak Angket untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang.
Terutama Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 ayat 1, bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
“MKMK menyampaikan hakim terlapor terbukti dengan sengaja membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses pengambilan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Pernyataan ini jelas berarti ada intervensi pihak luar. Pernyataan MKMK ini harus diinvestigasi oleh DPR demi mengembalikan marwah dan independensi MK,” tutur Arjuna kepada wartawan, Kamis (9/11/2023).
Menurut Arjuna, DPR RI mesti mengambil Hak Angket karena ada potensi pengkhianatan terhadap UUD 1945 yang menjadi pedoman berbangsa dan bernegara. Dan apabila ini dibiarkan akan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
DPR, tambah Arjuna, harus mendalami intervensi pihak luar berdasarkan temuan MKMK yang bisa merusak independensi dan kepercayaan masyarakat terhadap kekuasaan kehakiman terutama Mahkamah Konstitusi.
“Sudah terang benderang disampaikan MKMK bahwa ada intervensi pihak luar atas independensi MK. Selain melanggar UUD, intervensi pihak luar melanggar Pasal 2 UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,” jelasnya.
Arjuna juga mendesak pelanggaran terhadap prinsip independensi dan imparsialitas yang diatur dalam Pasal 2 UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi harus ditindaklanjuti oleh DPR. Hal ini dilakukan untuk mengurai dan mengakhiri keresahan publik tentang runtuhnya independensi MK yang apabila dibiarkan berlarut-larut maka akan melahirkan civil disobedience atas tatanan hukum yang dibangun negara.
Lebih lanjut, Arjuna berpendapat, Hak Angket DPR bukanlah untuk membatalkan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023. Bukan pula menjadikan MK sebagai objek angket, namun untuk memanggil MKMK agar memaparkan temuannya terkait adanya dugaan intervensi pihak luar yang merusak marwah MK.
“DPR harus panggil MKMK untuk memaparkan hasil temuannya. Siapa pihak yang mengintervensi sehingga MK kehilangan independensinya. Padahal menurut Pasal 2 UU No 4 tahun 2003, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan,” tutur Arjuna
Ditekankan Arjuna, Hak Angket DPR RI untuk menyelidiki lebih lanjut temuan MKMK sangat penting untuk mengurai benang kusut yang mencederai kemerdekaan dan membuat MK menjadi bahan olok-olok masyarakat akhir-akhir ini.
Hak Angket DPR, menurut Arjuna, untuk menyelamatkan independensi MK, di mana tidak boleh ada pihak-pihak yang bisa mengintervensi lembaga peradilan yang kemerdekaan dan independensinya mesti dihormati.
“Hak Angket untuk mengetahui siapa yang mengintervensi independensi MK. Dengan mendalami temuan MKMK, DPR bisa menyelamatkan marwah dan independensi MK. Tidak boleh ada pihak yang mengintervensi independensi MK. Sehingga kehormatan lembaga peradilan kita dikangkangi begitu. Merusak tata negara kita,” tutup Arjuna.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)