RUANGPOLITIK.COM – Praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) selalu terjadi diberbagai bidang dan lembaga di Indonesia. Bahkan pada tahun-tahun akhir masa pemerintahan Presiden Soeharto yang mana terlihat jelas praktik KKN tersebut.
Tak hanya itu, pada masa Orde Baru (Orba), KKN dilakukan secara terang-terangan dan ini memicu kemarahan rakyat serta aktivis demokrasi. Salah satu contoh yang terlihat jelas ketika Siti Hardianti Rukmana atau yang dikenal dengan nama Tutut.
Kala itu, dirinya yang adalah putri Presiden Soeharto, dilantik sebagai Menteri Sosial di masa sang ayah berkuasa. Ketua Umum Eksponen Aktivis ’98 Sumatera Barat Donny Andri Magek Piliang mengatakan, tindakan yang dilakukan Presiden Soeharto sangat jelas mencerminkan nepotisme.
“Ini jelas mencerminkan nepotisme, yaitu pemilihan pejabat berdasarkan hubungan keluarga, dan menjadi salah satu contoh nyata KKN di pemerintahan pada masa itu. Praktek KKN lainnya yang terjadi di masa itu mencakup korupsi dalam berbagai aspek pemerintahan dan ekonomi,” kata Donny melalui surat pernyataan sikap yang diterima RuangPolitik.com, Rabu (18/10/2023).
Dia mengatakan, KKN menjadi salah satu faktor yang memicu gerakan reformasi tahun 1998 silam. Di mana rakyat dan aktivis demokrasi menuntut pembersihan praktik KKN dan reformasi pemerintahan yang ditandai dengan demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa serta masyarakat diseluruh Indonesia hingga akhirnya Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden.
“Saat ini sepertinya sejarah akan mengalami pengulangan kembali, dimana praktek-praktek KKN kembali dilakukan secara terbuka dihadapan masyarakat dan salah satunya yang terbaru adalah hasil putusan MK tetang batas usia capre dan cawapres beberapa hari yang lalu yang dapat memuluskan jalanya praktek-praktek KKN terutama nepotisme di masa-masa yang akan datang,” kata Donny.
“Kami, para Eksponen Aktivis ’98 Sumatera Barat, dengan ini menyatakan sikap tegas kami terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian tuntutan terhadap pembatasan usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres),” tambahnya.
Donny mengatakan, keputusan tersebut diambil tanpa mempertimbangkan dissenting opinion dari majelis hakum lainnya. Dia menyebutkan bahwa langkah tersebut diambil seperti langkah yang tergesa-gesa dan menciderai rasa keadilan masyarakat Indonesia.
“Kami merasa sangat perlu untuk mengungkapkan kekecewaan dan ketidaksetujuan kami atas keputusan ini. Pertimbangan hukum dan keadilan haruslah menjadi prinsip utama dalam setiap keputusan yang diambil oleh semua lembaga peradilan pada semua tingkatannya, termasuk MK,” jelas Donny.
Namun, Donny mengatakan, pihaknya melihat bahwa keputusan MK ini justru sarat dengan kepentingan politik, dengan mengenyampingkan kepentingan hukum itu sendiri demi melanggengkan kepentingan politik kelompok tertentu. Hal ini tidak hanya merugikan hak-hak politik warga negara, tetapi juga melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap keadilan hukum di Indonesia.
Maka dengan ini kami menyatakan, “Bahwa putusan MK tentang batas usia sangat sarat dengan Kepentingan politik dengan mengenyampingkan kepentingan hukum itu sendiri demi untuk melanggengkan kepentingan politik kelompok-kelompok tertentu. Mengajurkan kepada Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., M.P.A (sebagai putra asli Minangkabau) untuk segera mengundurkan diri dari MK, agar kelak tidak tercatat dalam sejarah sebagai orang yang terlibat dalam konspirasi legitimasi kolusi dan nepotisme”.(Okta)
Editor: Syafri Ario
(Rupol)