Yanuar menyebut bahwa persoalan tanah adat di Tanah Air tidak jarang berujung pada hal yang tidak mengenakkan, bahkan kalah bertarung melawan korporasi dan negara.
RUANGPOLITIK.COMWakil Ketua Komisi II DPR RI Yanuar Prihatin mengingatkan persoalan tanah di Ibu Kota Nusantara (IKN) harus segera diselesaikan untuk menghindari terjadinya konflik yang besar di kemudian hari sebab menyangkut tanah masyarakat, tanah adat, dan tanah keluarga kesultanan.
“Ada gejala yang harus diselesaikan dalam proses pertanahan di IKN karena di sana ada tanah adat, kemudian juga ada tanah keluarga kesultanan,” kata Yanuar dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU IKN DPR RI bersama para pakar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin siang (18/9).
Yanuar menyebut bahwa persoalan tanah adat di Tanah Air tidak jarang berujung pada hal yang tidak mengenakkan, bahkan kalah bertarung melawan korporasi dan negara.
“Dalam proses sejarah, kita tahu tanah adat di negeri ini bukan kabar baik atau bukan kabar gembira, sehingga dalam proses historis tanah adat kemudian banyak sekali terdistorsi, tersingkirkan dan tentu kalah ketika harus bertarung dengan korporasi, negara, kementerian, BUMN, swasta dan seterusnya, itu terjadi di banyak tempat,” ujarnya.
Dia mencontohkan persoalan tanah sebagaimana konflik di Pulau Rempang, Provinsi Kepulauan Riau, yang menunjukkan bahwa tanah-tanah adat kerap tak berkutik ketika berhadapan dengan kekuasaan yang begitu besar.
“Nah, kita belum mendapatkan contoh terbaik bagaimana kompromi hukum negara dan hukum adat. Pada umumnya tanah adat mengalami marjinalisasi,” ucapnya.
Dia menjelaskan kronologi historis tanah kesultanan di IKN sejak Ratu Juliana Belanda memberikan surat hibah tanah untuk keluarga kerajaan kesultanan Kutai Kertanegara yang diserahkan kepada Presiden Soekarno, kemudian Presiden Soekarno menyerahkan kepada keluarga kerajaan kesultanan Kutai Kertanegara tahun 1957.
Proses berikutnya, kata dia, tanah-tanah hibah kesultanan itu kemudian diperkuat dengan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Kutai A.R. Padmo tahun 1960 sebagai tanah hak milik adat hibah warisan turun menurun.
Keputusan-keputusan tersebut, kata dia, lalu diperkuat oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai tahun 1971 Ahmad Dahlan yang dilegalisir kembali oleh Pengadilan Negeri Tenggarong, selanjutnya diperkuat kembali oleh Bupati Kutai tahun 1973 dan dicatat sesuai aslinya oleh Kantor Pertanahan Kutai 3 Januari 1994, dan 11 April 1995 yang ditandatangani oleh panitera Kantor Pertanahan Kutai.
Menariknya, ujarnya lagi, pihak Kesultanan Kutai Kertanegara telah menyerahkan uang sebesar 1.890.000 gulden kepada Republik Indonesia Serikat sebagai bukti bayar lunas pajak.
Menurut dia, merujuk pada Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 pasal 20 dinyatakan bahwa tanah adat Grand Sultan tidak perlu didaftar ulang, terdaftar dan diumumkan dalam lembaran negara Republik Indonesia No.104 tahun 1960.
Dari rentetan kronologi historis tersebut, Yanuar pun menyayangkan tanah Kesultanan Kutai Kertanegara pada proses berikutnya bernasib sama dengan tanah adat lainnya yang tenggelam dan kalah dengan korporasi, bahkan negara.
Untuk itu, dia mengingatkan bahwa konflik di Rempang atau kejadian serupa di tempat lain tentu tidak boleh terjadi di IKN. “Ini jangan sampai jadi api dalam sekam dan satu waktu kemudian meledak,” ujarnya.
Menurut dia, perlu ditemukan jalan tengah terbaik yang memberikan efek membahagiakan kepada semua pihak, di mana sektor swasta dapat ikut berkontribusi dengan baik di wilayah tersebut dengan tetap memperhatikan pula hak-hak lokal masyarakat.
“Untuk membangun IKN kita memang tidak punya modal yang besar, tapi kita memberi ruang yang cukup fair kepada swasta, seyogianya kita memberikan ruang yang cukup adil juga kepada masyarakat setempat,” kata Yanuar.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)