Yenny berjuang tak hanya pada tataran wacana dan teori. Ia juga menjalani dalam kehidupan sehari-hari dalam berorganisasi.
RUANGPOLITIK.COM – Aktivis perempuan ini tak kenal lelah. Sejak ditinggalkan K.H. Abdurrahman Wahid –biasa dipanggil Gus Dur–, beban berat ada di pundaknya. Ia hadir mengawal dan menyebarkan pemikiran-pemikiran ayahnya tentang demokrasi, pluralisme, dan toleransi.
Ia menjaganya lewat The Wahid Institute, lembaga yang didirikan ayahnya pada tahun 2004. Lembaga ini, dilansir dari laman The Wahid Institute, berusaha mewujudkan prinsip dan cita-cita intelektual GUs Dur dalam membangun pemikiran Islam moderat.
Yenny berjuang tak hanya pada tataran wacana dan teori. Ia juga menjalani dalam kehidupan sehari-hari dalam berorganisasi. Ia terjun di dunia politik praktis layaknya ayahnya. Bahkan ia pernah menjadi staf khusus bidang Komunikasi Politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kisah konflik mewarnai perjalanan politiknya, dimulai saat ia menjadi Sekjen Partai Kebankitan Bangsa (PKB) periode 2005-2010. Namun, di tengah perjalanan, pada tahun 2008, Yenny Wahid dipecat oleh Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar.
Sejak itu, Yenny mendirikan partai politik sendiri dengan nama Partai Kedaulatan Bangsa (PKB). Yenny langsung sebagai ketua umumnya.Pada tahun 2012, dua partai PKB dan Partai Indonesia Baru (PIB) pimpinan Kartini Sjahrir melebur dengan nama Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB) dan Yenny ditunjuk sebagai ketua umum partai baru tersebut.
Semua ini ia lakoni di tengah-tengah ayahnya lengser jadi presiden RI ke-4 pada tahun 2001. Ia hadapi dengan kekuatan penuh dan keyakinan. Ini semua berkat didikan keluarga kepada dirinya.
Ia terlahir dalam lingkungan keluarga NU seperti sang ayah Gus Dur. Pola pikirnya hampir sama dengan ayahnya yang pernuh percaya diri akan seuatu hal dan melawan mainstream kebanyakan orang.
Pemilik nama lenkap Zannuba A riffah Chafsoh Rahman Wahid, kelahiran Jombang, 29 Oktober 1974, adalah anak kedua dari pasangan Abdurrahman Wahid dan Sinta Nuriyah. Ia mempunyai seorang kakak, Alisa Wahid dan dua orang adik, Anita Wahid dan Inayah Wahid.
Meski dari keluarga pesantren, Yenni justru berbeda dengan kebanyakan anak-anak kiyai lainnya. Ia justru masuk sekolah umum. Setelah lulus SMA Negeri 28 Jakarta tahun 1992, ia menekuni studi komunikasi Visual di Universitas Trisakti, Jakarta.
Setelah itu, ia memilih menjadi wartawan sebagai koresponden koran terbitan Australia, The Sydney Morning Herald dan The Age (Melbourne) antara 1997 dan 1999. Ia bertugas di daerah konflik sebagai reporter di Timor-Timur dan Aceh
Tiga tahun berjalan menjadi, ia berhenti jadi wartawan karena ayahnya terpilih menjadi presiden RI ke-4 pada tahun 1999. Sejak itu, ke manapun Gus Dur pergi, Yenny selalu berusaha mendampingi ayahnya, apalai kondisi fisik ayahnya terbatas. Itu ia lakoni mulai tahun 1999-2001.
Setelah Gus Dur tidak lagi menjabat sebagai presiden, Yenny kuliah dan memperoleh gelar Master’s in Public Administration dari Universitas Harvard, AS, di bawah beasiswa Mason. Sekembalinya dari Amerika tahun 2004, Yenny menjabat sebagai direktur Wahid Institute yang saat itu baru berdiri. Hingga kini ia menduduki jabatan tersebut.
Keluarga
Suami: Dhorir Farisi
Anak : Malica Aurora Madhura
Amira
Pendidikan
SMA Negeri 28 Jakarta (1992)
S1, Jurusan Visual, Universitas Trisakti, Jakarta
S2, Harvard Kennedy School of Governmen, AS
Karier
Wartawan, 1997-1999
Direktur The Wahid Institute, 2014-sekarang
Staf Khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Bidang Komunikasi Politik, 2006
Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa, 2005-2008
Ketua Umum Partai Kedaulatan Bangsa, 2008-2012
Ketua Umum Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB), 2012
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)