Oleh: Intan Hayati/ Sosiologi Karyawan
RUANGPOLITIK.COM – Menuju pemilu 2024 politik indonesia semakin ramai menjadi perbincangan di media sosial, dengan adanya aksi maupun reaksi yang timbul ditengah kekuatan yang akan memasuki gelanggang pertarungan.
Jika dilihat dari situasi saat ini, capres serta cawapres mulai sibuk melakukan aksi agar mendapatkan simpati dari masyarakat. Dimulai dari akhir tahun 2022 hingga awal tahun 2023 merupakan waktu yang sibuk bagi para partai politik.
Selain haru menyiapkan persyaratan ditahap legislative, para capres dan cawapres juga harus membangun komunikasi politik yang intens.
Hal ini berguna untuk mematangkan pengusungan capres dan cawapres yang akan menjadi kandidat resmi di Pilpres 2024. Tak hanya itu para capres diharapkan dapat memposisikan diri dengan benar serta berhati-hati dalam mengambil sebuah Tindakan.
Pembentukan opini
Saat ini partai politik diharapkan dapat merealisasikan harapan yang sudah diberikan kepada publik, kepentingan partai lainnya, dan tentunya kepentingan partai itu sendiri. Secara perlahan tapi pasti pola politik yang awalnya tidak memiliki pola mulai terbentuk. Hal ini harus diperhatikan oleh partai politik saat Menyusun strategi.
Ferdinand tonnes yang merupakan pakar komunikasi dari jerman menyatakan bahwa proses pembentukan opini publik terbagi menjadi tiga bagian yakni :
Tahap pertama, Die Luftartigen Position adalah posisi opini ibarat angin ribut. Pada tahap ini, masalah masih acak, tidak menentu, dan sebatas kabar angin.
Belum ada kepastian akan opini yang terbentuk dan semua orang yang memiliki keinginan menjadi capres & cawapres umumnya mulai mencari perhatian masyarakat dengan berbagai cara seperti muncul di sosial media, baliho, bahkan di media kabar.
Tahap kedua, Die Fleissigen Position adalah tahap ketika pembicaraan mengenai suatu masalah sudah mulai terarah dan membentuk pola yang jelas. Pada tahap ini, muncul pro dan kontra. Isu itu bisa disetujui, bisa juga tidak.
Jika melihat keadaan saat ini, terdapat beberapa survei opini publik yang berisikan daftar nama tokoh politik yang berpotensi untuk maju sebagai capres dan cawapres. Contohnya hasil penelitian dan pengembangan dari stasiun TV nasional mulai dari periode 24 september hingga 7 oktober 2022 menyatakan bahwa ganjar pranowo memiliki elektabilitas sebesar 23,3%.
Di posisi kedua ada pak Prabowo subianto yang mendapatkan elektibilitas sebesar 17,6%. Sementara pak anies baswedan berada di posisi ketiga dengan elektibilitas sebesar 16,5%.. Dari contoh berikut dapat dilihat bahwa opini publik mengenai capres dan cawapres mulai terbentuk. Dan dapat dijadikan pertimbangan bagi masyarakat sebelum melakukan pemilihan.
Tahap ketiga, Die Festigen Position adalah tahap penyatuan pendapat anggota kelompok dari tahap-tahap sebelumnya. Pada tahap ini, sudah terjadi kesepakatan bagaimana seharusnya masalah diselesaikan.
Setelah paket ”kuda pacuan” capres- cawapres terdaftar secara resmi di KPU, opini publik kembali akan membentuk tahapannya lagi. Publik nanti akan merespons dengan memperbincangkan tiap-tiap paket pasangan, dan biasanya mulai terkonsolidasi di saat masa kampanye. Probabilitas perolehan suara sudah mulai bisa dihitung meskipun tentu bukan proses yang linear.
Mengapa tahap pembentukan opini publik saat ini lebih dini memasuki tahap die fleissigen position? Hal ini tak terlepas dari manuver Nasdem yang telah mendeklarasikan nama Anies sebagai capres. Hal ini menyebabkan intensitas komunikasi politik kian meningkat. Misalnya, perjumpaan Nasdem, PKS, dan Partai Demokrat.
Fenomena yang sama dapat kita lihat di Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Politisi PPP, PAN, dan Golkar dari samar menjadi lebih eksplisit menyebut sejumlah nama, antara lain Ganjar, Ridwan Kamil, hingga Airlangga Hartarto. Tak ketinggalan, Gerindra dan PKB pun kian intens mematangkan rencana koalisi.
Faktor lain yang membuat fase kedua mengemuka lebih awal adalah hasil survei berbagai lembaga yang selalu menempatkan Ganjar, Prabowo, ataupun Anies konsisten di urutan teratas.
Hal ini turut mengakselerasi dinamika figur ke arah yang lebih terpola. Jika tak ada faktor luar biasa yang merusak situasi, kemungkinan parpol akan menjadikan pendekatan ilmiah membaca opini publik ini sebagai salah satu referensi dalam memutuskan pilihan.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)