RUANGPOLITIK.COM – Polemik sistim pemilu yang akan diterapkan pada Pemilu 2024 mendatang, antara Sistim Proporsional Terbuka atau Proporsional Tertutup, terus menggelinding.
Mahkamah Konstitusi (MK) belum mengerluarkan keputusan tentang hal tersebut, namun banyak pihak sudah diundang untuk didengarkan keterangannya sebagai bahan masukan bagi MK.
Salah satunya Mantan Menteri Hukum dan HAM yang juga Pakar Hukum Tata Negara, Prof Yusril Ihza Mahendra. Dalam keterangannya, Yusril menyampaikan sistim terbuka bertentangan dengan UUD 1944, sehingga harus dikembalikan pada sistim tertutup atau coblos partai.
Hal ini disampaikan Yusril saat memberikan keterangan dalam sidang uji materiil UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum terkait gugatan pasal sistem proporsional terbuka di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (7/3/2023) lalu.
“Ketentuan pasal, tentang pemilihan umum yang mengatur sistem proporsional terbuka, secara nyata telah bertentangan dengan UUD NRI 1945,” ujar Yusril.
Yusril mengungkap beberapa pasal dalam UU Pemilu yang bertentangan dengan UUD 1945. Di antaranya, Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf d, Pasal 386 ayat (2) huruf d, Pasal 420 huruf c dan d , Pasal 422 dan Pasal 426.
“(Pasal-pasal tersebut) menyangkut penerapan sistem proporsional terbuka, bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,” katanya.
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu mengatakan sistem proporsional terbuka melemahkan dan mereduksi partai politik. Selain itu, ia menilai sistem tersebut menurunkan kualitas pemilu.
Usai memberi keterangan, Yusril menyebut perlu ada penguatan agar partai politik yang dipilih dalam setiap pemilu. Ia ingin sistem proporsional tertutup atau coblos partai diterapkan lagi.
“Asumsinya kan masyarakat itu majemuk, orang tuh punya pemikiran yang berbeda. Orang yang sama pikirannya silahkan bersatu membentuk partai politik. Partainya itulah yang akan ikut dalam Pemilu,” ujarnya.
Meski demikian, Yusril mengatakan tidak ada sistem yang lebih baik dari pada sistem yang lain. Oleh sebab itu, ia mendorong sistem yang dipilih dan dijalankan harus dievaluasi.
Dalam penjelasannya tersebut, sistim tertutup yang dimaksud adalah seperti yang dipakai pada pemilu di Orde Baru, dimana kertas suara hanya ada lambang partai, tidak ada mencantumkan nama calon legislatif (caleg).
Pemilih hanya akan coblos partai, sedangkan nama-nama caleg hanya sebagai ‘vote getter’ yang tidak masuk di kertas suara. (ASY)
Editor: Syafri Ario
(Rupol)