Data TGA menunjukkan, penggunaan pholcodine dapat berinteraksi dengan obat pelemas otot (neuromuscular blocking agents) yang diberikan saat pelaksanaan anestesi umum pada prosedur pembedahan. Hal itu bisa menyebabkan reaksi alergi yang muncul secara tiba-tiba, bersifat parah, dan mengancam jiwa
RUANGPOLITIK.COM —Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI kembali menelusuri database obat-obat batuk sirop. Penelusuran dilakukan setelah Otoritas Pengawasan Regulatori Obat di Australia (Therapeutic Goods Administration/TGA) mencabut izin edar dan menarik peredaran obat batuk sirop yang mengandung Pholcodine. BPOM menyatakan, tidak ada produk obat mengandung Pholcodine yang terdaftar di Indonesia.
Penjelasan BPOM tertanggal 27 Maret 2023 itu membahas publikasi TGA pada 28 Februari 2023. TGA menyatakan, pencabutan izin edar dan penarikan sirop obat batuk yang mengandung Pholcodine dilakukan karena alasan keamanan obat dan perlindungan kesehatan masyarakat.
Data TGA menunjukkan, penggunaan pholcodine dapat berinteraksi dengan obat pelemas otot (neuromuscular blocking agents) yang diberikan saat pelaksanaan anestesi umum pada prosedur pembedahan. Hal itu bisa menyebabkan reaksi alergi yang muncul secara tiba-tiba, bersifat parah, dan mengancam jiwa.
Pholcodine merupakan obat golongan opioid/narkotika yang dapat digunakan untuk mengobati batuk kering pada anak dan dewasa, serta mengobati gejala flu dalam kombinasi dengan obat-obat lainnya. Obat itu bekerja dalam tubuh dengan menekan langsung refleks batuk di otak.
Obat sejenis Pholcodine dengan mekanisme kerja dan tujuan penggunaan yang sama adalah Kodein. Kodein juga termasuk dalam golongan narkotika. BPOM menyatakan, peredaran Kodein telah diawasi ketat oleh pemerintah, termasuk BPOM, serta penggunaannya harus di bawah pengawasan dokter.
Dalam penjelasan tersebut, BPOM menyatakan bahwa lembaga ini sedang melakukan penelusuran kemungkinan peredaran obat ini secara daring (online). Tindakan itu dilakukan sebagai upaya mengedepankan prinsip kehati-hatian untuk melindungi masyarakat dari risiko yang tidak diinginkan dari penggunaan obat tersebut. BPOM juga menyatakan akan melakukan upaya penindakan secara tegas terhadap setiap pelanggaran yang ditemukan.
Pada Oktober 2022, pembicaraan tentang obat sirop pun sempat ramai karena adanya penarikan obat untuk anak di Gambia, Afrika, yang terkontaminasi Dietilen Glikol Dan Etilen Glikol. BPOM RI mengeluarkan penjelasan pertamanya pada 12 Oktober 2022.
Tindakan BPOM saat itu memang dimulai dengan penelusuran dan pengawasan. Akhirnya, BPOM menemukan beberapa produk yang juga menggunakan bahan baku Propilen Glikol yang mengandung cemaran EG dan DEG melebihi ambang batas. Beberapa izin edar obat sirop pun dicabut.
Menurut dokter spesialis anak, Harsono Budiprananto, obat batuk sirop dengan kandungan Pholcodine yang disebutkan dalam rilis BPOM itu memang akan bereaksi alergi terhadap pelemas otot yang biasa diberikan jelang operasi. Tetapi, ketika dikonsumsi tanpa berdekatan dengan waktu sebelum atau sesudah operasi, obat itu aman dikonsumsi.
“Dan, kandungan Pholcodine itu enggak ada di obat-obat batuk di Indonesia, baik obat untuk dewasa maupun anak-anak,” kata Harsono yang berpraktik di RS Melinda 2 Kota Bandung, Jumat, 31 Desember 2023.
Rilis BPOM itu juga membandingkan Pholcodine dengan Kodein yang keduanya merupakan sama-sama golongan narkotika. Menurut Harsono, di Indonesia memang ada obat batuk yang mengandung Kodein.
Obat itu, kata dia, selama ini aman karena belum ada laporan. Selain itu, karena tergolong narkotika, obat yang mengandung Kodein pasti tidak bisa dijual bebas, melainkan harus dengan resep dokter. Apotek pun tidak bisa menjual sembarangan.
“Ini obat dengan golongan narkotika, karena itu laporannya ketat. Saat apotek mengeluarkan, harus ada laporan obat itu dikeluarkan atas resep dari dokter siapa, untuk pasien siapa, dengan nama lengkap dan alamat rumah. Itu ketat, lebih kecil kemungkinan disalahgunakan,” katanya.
Penggunaan Obat dengan Bijaksana
Informasi yang juga disampaikan BPOM secara terbuka di media sosialnya itu membuat orangtua cemas. Apalagi, saat ini adalah musim pancaroba, banyak orang batuk, apalagi anak-anak.
“Belum selesai resah dengan sirop paracetamol, sekarang ada lagi. Benarkah enggak ada obat sirop yang mengandung itu? Nanti seperti dulu, awalnya katanya enggak ada, eh ternyata muncul daftar obat-obat yang punya kandungan berbahaya itu. Ibu-ibu rasanya hidupnya tidak tenang, ya,” kata Novi, ibu dari dua orang anak di Kota Bandung, Jumat, 31 Maret 2023.
Apalagi, kata dia, anaknya pun kadang mengalami batuk di tengah cuaca yang tidak menentu seperti sekarang serta kemungkinan tertular dari temannya. Terakhir kali ke dokter, kata dia, dia bahkan menggunakan paracetamol tablet untuk anaknya yang baru berusia 6 tahun karena masih khawatir dengan obat sirop.
Menurut Harsono yang juga praktik di Klinik Utama Arsaya, kekhawatiran itu berkaitan dengan kasus gagal ginjal akut. Namun, setelah BPOM melakukan rangkaian pemeriksaan dan memberikan daftar obat yang aman, ternyata muncul lagi 2 kasus gagal ginjal.
Muncul lagi dugaan bahwa gagal ginjal karena obat penurun panas Praxion. Padahal, obat itu sejak awal sudah dinyatakan bebas EG dan DEG. Jadi, dugaan-dugaan itu belum menunjukkan apa penyebab pasti dari gagal ginjal.
Oleh karena itu, kata Harsono, pemberian obat sirop ke anak-anak tidak terelakkan. Apalagi karena anak-anak belum bisa memakan obat tablet dan ada beberapa jenis obat yang tidak ada bentuk tabletnya. Ia menyarankan masyarakat untuk menggunakan obat dengan bijaksana. Pertama, masyarakat jangan membeli obat sendiri tanpa petunjuk dokter.
“Kedua, jangan beli obat di warung-warung, paling tidak di toko obat berizin atau apotek berizin. Apalagi beli di online (marketplace), itu lebih parah lagi, lebih baik jangan,” sebutnya mengimbuhkan.
Ketiga, saat menyimpan obat di rumah karena telah dihentikan penggunaannya lalu ingin digunakan kembali, masyarakat harus lebih dulu konsultasi ke dokter. Masyarakat bisa menginformasikan ke dokter merek dan keterangan dari obat tersebut, sehingga dokter bisa memberikan saran apakah obatnya masih bisa digunakan atau tidak. “Lalu, kalau sudah memakai obat yang dibeli sendiri dan dalam beberapa hari enggak sembuh juga, harus segera ke dokter,” kata Harsono.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)