Oleh: Ayuningtyas Widari Ramdhaniar
RUANGPOLITIK.COM — Fakta menunjukkan bahwa jutaan orang di seluruh dunia tidak mampu membeli makanan sehat, menempatkan mereka pada risiko tinggi kerawanan pangan dan kekurangan gizi. Tetapi mengakhiri kelaparan bukan hanya tentang pasokan. Namun, apakah makanan yang diproduksi hari ini cukup untuk memberi makan semua orang di Dunia? Seperti di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, angka prevalensi ketidakcukupan pangan (Prevalence of Undernourishment/PoU) nasional tahun 2021 sebesar 8,49%.
nfl jerseys cheap
nike air jordan 1 mid
nike air max 90 futura
jerseyscustomforsale
new adidas shoes
Human hair Wigs
natural hair wigs
nike air jordan for men
design custom soccer jersey
Natural wigs
sex toy shop
custom jerseys football
custom football jersey
custom hockey jersey
adidas outlet
sex toys
Angka tersebut naik 0,15 poin dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 8,34%. Angka PoU sebenarnya sudah menunjukkan adanya perbaikan pada 2018 dan 2019, tetapi meningkat kembali pada 2020 akibat efek pandemi. Peningkatan kekurangan pangan pada 2021 juga sejalan dengan peningkatan angka kemiskinan yang mencapai 9,71% pada tahun 2021.
Menurut BPS, prevalensi ketidakcukupan pangan merupakan suatu kondisi di mana seseorang, secara regular, mengkonsumsi jumlah makanan yang tidak cukup untuk menyediakan energi yang dibutuhkan untuk hidup normal, aktif, dan sehat. Semakin tinggi prevalensi ketidakcukupan pangan, maka semakin tinggi pula persentase penduduk yang mengkonsumsi makanan, tetapi kurang dari kebutuhan energinya. Indikator ini juga dapat menggambarkan perubahan ketersediaan makanan dan kemampuan rumah tangga untuk mengakses makanan.
Isu pangan merupakan isu yang berkaitan dengan isu SDGs dinomor sebelumnya yaitu tanpa kemiskinan, karena orang yang miskin sudah tentu tidak dapat memenuhi kebutuhan gizinya dan makanan yang sehat maka mereka berada ditempat yang memiliki risiko tinggi kerawanan pangan dan kekurangan gizi, dan itu merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang melekat pada diri seorang manusia yang tidak dapat dikurangi apalagi dicabut dan persoalan kekurangan pangan dan gizi yang sehat bukan hanya soal angka statistik karena sekecil apapun angka statistiknya didalamnya terdapat persoalan manusia yang terancam hidupnya.
Dunia globalisasi adalah dunia di mana ekonomi, budaya, dan populasi menjadi semakin saling berhubungan. Beberapa dari kita mungkin memiliki kehidupan yang rentan karena siapa kita atau di mana kita tinggal, tetapi kenyataannya adalah kita semua rapuh. Karena ketika seseorang tertinggal, sebuah rantai pun telah putus. Ini tidak hanya berdampak pada kehidupan orang itu, tetapi juga kehidupan kita.
Dalam menghadapi krisis global, solusi global dibutuhkan lebih dari sebelumnya. Dengan menargetkan produksi yang lebih baik, nutrisi yang lebih baik, lingkungan yang lebih baik, dan kehidupan yang lebih baik, kita dapat mengubah sistem pangan pertanian dan membangun ke depan dengan lebih baik dengan menerapkan solusi berkelanjutan dan holistik yang mempertimbangkan pembangunan dalam jangka panjang, pertumbuhan ekonomi yang inklusif, dan ketahanan yang lebih besar.
Dalam kehidupan sehari-hari meskipun belum memahami konsep akademis pangan sehat dan masih dalam pemahaman global namun perkara gizi yang lebih baik seharusnya sudah menjadi patron bagi orang tua untuk selalu mengajarkan hidup sehat. Persediaan makanan sehat seperti susu, beras, telur, mie, kecap, saus, minyak di beberapa goodie bag selalu ada untuk dibagikan ke orang yang memiliki kerawanan tinggi terhadap kekurangan gizi.
Pandemi 2020 kemarin lebih terasa bahwa SDGs nomor 2 ini tanpa kelaparan dimana targetnya adalah menghilangkan kelaparan dan menjamin akses bagi semua orang khususnya orang miskin dan mereka yang berada dalam kondisi rentan termasuk bayi, terhadap makanan yang aman, bergizi, dan cukup sepanjang tahun sangat terlihat samar mengingat bantuan sosial banyak yang dikorupsi bahkan oleh orang-orang di pemerintahannya.
Pelaksanaan SDGs Kabupaten Subang, selaku lumbung pangan nasional dan jawa barat bisa menjadi contoh bagaimana daerah itu menyiapkan mesin yang luar biasa hebat yang didapat dari bantuan komisi IV untuk mengolah menjadi beras, dimana tidak semua kelompok tani bisa mendapatkan bantuan seperti itu.
Mengingat pada 2030 kita harus mampu menggandakan produktivitas pertanian dan pendapatan produsen makanan skala kecil. Saya juga berkunjung ke PLUT (Pusat Layanan Usaha Terpadu) KUMKM Kabupaten Subang, bertukar ilmu dan pengetahuan serta informasi apa yang dapat kita lakukan kedepan untuk dapat memajukan UMKM terhadap akses yang lebih baik sehingga lebih produktif dan memiliki peluang nilai tambah.
Dalam mengatasi Stunting di Kabupaten dengan target 2023 yang ditetapkan zero stunting, mereka mengangkat anak untuk diberikan gizi yang lebih baik. Kepala daerah dan ketua DPRD nya sendiri mengambil 4 anak untuk diangkat dan dipastikan gizi yang diterima mereka lebih baik.
Problemnya adalah belum optimalnya Pemberdayaan kelembagaan pangan; Belum optimalnya Pemanfaatan sumber daya pangan lokal; Belum optimalnya ekstensifikasi dan diversifikasi pangan masyarakat; Belum optimalnya Pengembangan sistem ketahanan pangan yang berkelanjutan (yang meliputi aspek input, ketersediaan, distribusi dan konsumsi).
Tindakan yang kita lakukan hari ini adalah masa depan kita, jadi kita harus menentukan apa yang akan diperbaiki, mulai darimana, dan dengan cara seperti apa yang akan menentukan semua yang perlu diperbaiki ini mampu untuk diperbaiki.
Persoalannya adalah akses dan ketersediaan pangan bergizi yang semakin terhambat oleh berbagai tantangan antara lain pandemi COVID-19, konflik, perubahan iklim, ketimpangan, kenaikan harga, dan ketegangan internasional. Orang-orang di seluruh dunia menderita efek domino dari tantangan yang tidak mengenal batas.
Menurut lembaga PBB FAO bahwa di seluruh dunia, lebih dari 80 persen orang miskin ekstrim tinggal di daerah pedesaan dan banyak yang bergantung pada pertanian dan sumber daya alam untuk kehidupan mereka. Mereka biasanya paling terpukul oleh bencana alam dan kesalahan oleh perilaku manusianya sendiri dan sering terpinggirkan karena jenis kelamin, asal etnis, atau status mereka. Ini adalah perjuangan bagi mereka untuk mendapatkan akses ke pelatihan, keuangan, inovasi dan teknologi.
Pencapaian tujuan mengakhiri kelaparan ini membutuhkan akses yang lebih baik terhadap pangan dan ajakan budidaya pertanian secara luas berkelanjutan. Hal tersebut mencakup pengembangan produktifitas dan pemasukan petani kecil dengan mendorong kesamaan luas lahan, teknologi dan penjualan, sistem produksi pangan yang berkelanjutan, dan budi daya yang terus menerus.
Empat edisi terakhir The State of Food Security and Nutrition in the World (SOFI) mengungkapkan kenyataan yang merendahkan, yaitu Dunia secara umum belum mengalami kemajuan baik dalam memastikan akses ke pangan yang aman, bergizi dan cukup bagi semua orang sepanjang tahun (Target SDG 2.1), atau untuk memberantas segala bentuk kekurangan gizi (Target SDG 2.2). Konflik, variabilitas dan ekstrem iklim, serta perlambatan dan kemerosotan ekonomi adalah pendorong utama memperlambat kemajuan, terutama di tempat yang ketimpangannya tinggi. Pandemi COVID-19 membuat jalur menuju SDG2 semakin terjal.
Jadi, jika dunia berada pada titik kritis, di mana posisi kita sekarang? Dan apa yang dapat dilakukan untuk membantu kita membangun ke depan dengan lebih baik dan menempatkan kita di jalur yang tepat untuk mencapai Zero Hunger?
Dunia yang berkelanjutan adalah dunia di mana semua orang diperhitungkan. Pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat sipil serta individu perlu bekerja sama dalam solidaritas untuk memprioritaskan hak semua orang atas pangan, gizi, perdamaian, dan kesetaraan. Memang, setiap dari kita, termasuk kaum muda, dapat bekerja menuju masa depan yang inklusif dan berkelanjutan, menunjukkan empati dan kebaikan yang lebih besar dalam tindakan kita.
Editor: Syafri Ario
(Rupol)