Oleh: SPBD Pangeran Edwardsyah Pernong
RUANGPOLITIK.COM – MUKTAMAR Nahdlatul Ulama (NU) ke-34 di Provinsi Lampung merupakan tonggak sejarah memasuki abad kedua kiprah wadah organisasi keagamaan ini bagi Bangsa Indonesia.
Pada muktamar yang berlangsung 22—24 Desember lalu, NU berhasil membuktikan diri sebagai organisasi keagamaan yang adaptif dan akomodatif lewat suksesi yang relatif sejuk dan khidmat.
Usai pemilihan ketua umum PBNU, dengan santun, Gus Yahya Cholil Staquf mencium tangan ketua sebelumnya, KH Said Agil Siradj. Sekitar 100 juta kader NU dan masyarakat Indonesia menyaksikan mulusnya suksesi.
nfl jerseys cheap
nike air jordan 1 mid
nike air max 90 futura
jerseyscustomforsale
new adidas shoes
Human hair Wigs
natural hair wigs
nike air jordan for men
design custom soccer jersey
Natural wigs
sex toy shop
custom jerseys football
custom football jersey
custom hockey jersey
adidas outlet
sex toys
Kini, masa depan NU berada di pundak generasi yang lebih muda, Gus Yahya Cholil Staquf. Sebagai sesama alumni Yogya, saya mengenal Gus Yahya Staquf sebagai seorang aktivis kemahasiswaan selama kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM.
Beliau masuk UGM tahun 1985 dan memilih aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan pernah menjadi Ketua Komisariat HMI Fisipol UGM.
Pilihan aktif di HMI, bukan di PMII sebagaimana kebanyakan mahasiswa NU, jelas menunjukkan karakter pemikiran Gus Yahya yang inklusif, membuka selebar-lebarnya pintu dialog untuk membangun keberagaman.
Dikenal sebagai aktivis dan pemikir yang idealis, Gus Yahya sejak awal sudah berusaha menerapkan Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Baca juga:
Nama Nusron Wahid Mengapung sebagai Sekjen NU
Sebagai aktivis NU, Gus Yahya mengikuti jejak idolanya, Gus Dur, menyebarkan dakwah Islam di dunia internasional. Pilar utama yang ditawarkan dalam gerakan dakwah internasional itu adalah Islam rahmatan lil alamin.
Oleh karena itu, bagi Gus Yahya membangun dialog kultural dengan Israel untuk mewujudkan perdamaian dengan Palestina, merupakan dakwah yang harus ia tempuh, meski mendapatkan tantangan yang keras di Tanah Air.
Peran NU di Era Disruption
Revolusi digital melahirkan fenomena sosial, ketika tengah mengalami “guncangan besar”, akibat akumulasi perubahan dramatis tatanan sosial dan tajamnya persaingan global.
Revolusi digital yang terjadi di seluruh lapisan masyarakat “memaksa” organisasi beradaptasi untuk efektivitas dan efisiensi. Di sisi lain, kehadiran era revolusi digital telah membidani lahirnya era disrupsi.
Era disrupsi dianggap telah memengaruhi relasi antarbangsa demi memenangkan persaingan global.
Era disrupsi juga memengaruhi sistem negara dan resources yang dimiliki, menuju jalinan sistem yang saling terkoneksi.
Disrupsi secara generik bermakna tercabut dari akarnya atau perubahan fundamental, telah dan sedang dialami oleh rakyat Indonesia, setidaknya dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir.
Terjadi perubahan secara mendasar di tengah masyarakat sejak revolusi digital merasuki seluruh celah kehidupan manusia. Perubahan tersebut telah mengubah sistem lama dengan suatu sistem baru.
Perubahan tersebut ada yang berjalan secara natural, tetapi ada juga yang berjalan dengan dipaksakan hingga menimbulkan konflik.
Revolusi digital akibat dari evolusi teknologi informasi telah mengubah hampir semua tatanan kehidupan, termasuk tatanan kehidupan sosial dan keagamaan.
Dan, perubahan tersebut, ternyata tidak selalu positif, bisa juga negatif sehingga mengguncang sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Baca juga:
Pertarungan Struktural dengan Politik, Warnai Pemilihan Ketum PBNU
Muncul dan berkembangnya paham Islam Transnasional merupakan contoh nyata dari era disrupsi.
Dalam dunia pendidikan keagamaan, saat ini generasi muda lebih suka belajar agama melalui search engine daripada ke pesantren.
Kebenaran bukan dilihat dari hakikat atas peristiwa, melainkan dari seberapa kuat sebuah isu dimainkan oleh kelompok kepentingan, akibatnya terjadi polarisasi yang dalam di tengah masyarakat.
Kepakaran juga sudah “mati” digantikan oleh mesin pencari. Dampaknya, ruang dialog menjadi sempit, lemahnya nalar dan generasi “sumbu pendek” yang mudah terhasut dan mudah marah.
Gus Yahya sebagai figur yang muda dan idealis, menjadi ketua PB NU di saat seluruh dunia—dan NU ada di dalamnya—sedang menapaki era disrupsi.
Era disrupsi perlu dimaknai sebagai perubahan pola pikir, yang mengakibatkan perubahan sosial yang dipicu oleh pemanfaatan teknologi informasi, yang dapat memengaruhi kondisi sosial, termasuk kondisi organisasi keagamaan dan umatnya.
Di era disrupsi, hal utama yang perlu dilakukan adalah kemampuan beradaptasi, baik dilakukan oleh individu maupun kelompok, untuk pengembangan jammiyyah. Dan, NU sudah sejak lama memiliki kemampuan adaptif sehingga perubahan yang terjadi di NU berjalan tanpa gejolak.
Konsisten
NU yang sejak didirikannya tahun 1926 konsisten mengembangkan dakwah yang toleran, akomodatif, adaptif, dengan berpegang pada kaidah fiqh al-muhafadzah alal-qadim al-shalih wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah.
Artinya melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan menerapkan nilai-nilai baru yang lebih baik. Dengan paham tersebut, akan mudah bagi NU—dan hal itu sudah dibuktikan dengan keberhasilan NU menjaga organisasi tetap utuh, adem, dan menjadi rumah besar bagi segenap anak bangsa.
Keberhasilan NU—dan ini telah dimulai oleh KH Agil Siradj—dalam menghadapi era disrupsi karena NU memiliki strategi bertindak cepat, dengan tetap menjaga keseimbangan.
Pola pendidikan NU juga mengalami transformasi dengan menekankan tiga aspek, yaitu inovasi, kreativitas, dan entrepreneurship.
Baca juga:
Gus Yahya dan Yaqut Bersatu, Posisi Cak Imin di PKB Rawan?
Belajar dari pengalaman NU yang alih-alih bergejolak—justru menjadikan disrupsi sebagai kekuatan untuk mengubah organisasi keagamaan terbesar di Indonesia itu, di era Gus Yahya NU perlu menjadi leader, inspirator, fasilitator, untuk membawa masyarakat Indonesia memanfaatkan potensi yang dimiliki menjadi bangsa yang maju dan berkeadaban.
NU perlu menginisiasi, mendorong kreasi dan inovasi bangsa Indonesia melakukan recovery dengan mengubah pendekatan, cara berpikir, cara bertindak seluruh anak bangsa. NU perlu berdiri di depan, mengajak rakyat Indonesia mencari model yang tepat bingkai NKRI di era disrupsi.
NKRI di era disruption tersebut, setidaknya memiliki nilai-nilai: (1) Berlandaskan pada etika dan moral; (2) Supremasi hukum; (3) Menghormati hak asasi manusia; (4) Relasi sosial yang “salam” yaitu setara dan berkeadilan.
Gus Yahya, dengan model kepemimpinan transformatif, yaitu kepemimpinan untuk perubahan akan mampu memobilisasi seluruh potensi masyarakat Indonesia (bukan hanya muslim), mengagendakan perubahan, dan memproyeksikan masa depan menuju kemajuan dan keunggulan.
Bila peran tersebut dapat dijalankan oleh Gus Yahya serta didukung oleh seluruh komponen masyarakat, termasuk masyarakat adat Nusantara, Indonesia di masa mendatang akan menjadi negara demokrasi terbesar, negara toleran, dan berkeadaban.***
Penulis: Sultan Sekala Brak Yang Dipertuan Ke-23, Kepaksian Pernong Lampung, Mustasyar PW NU Lampung.