Fickar menekankan, tindak pidana korupsi tidak hanya menimbulkan kerugian di satu instansi saja. Masyarakat dan negara juga turut dirugikan akibat korupsi. Untuk itu, dia mendorong agar para anggota TNI yang terlibat korupsi diproses di pengadilan tipikor.
RUANGPOLITIK.COM —Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menyatakan, anggota TNI yang terlibat kasus dugaan suap di Basarnas seharusnya diadili di pengadilan tipikor, bukan pengadilan militer.
Kasus dugaan suap di Basarnas diketahui tengah diproses oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Total ada lima tersangka dalam kasus ini, yakni Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati, Mulsunadi Gunawan; Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati, Marilya; Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama, Roni Aidil; Kabasarnas RI, Henri Alfiandi; serta Koorsmin Kabasarnas RI, Afri Budi Cahyanto. Mulsunadi, Marilya, serta Roni diduga merupakan pihak pemberi suap. Sedangkan Henri serta Afri merupakan anggota TNI yang diduga menerima suap.
“Menurut saya kurang tepat (diadili di pengadilan militer),” ujar Fickar kepada wartawan, Minggu (30/7/2023).
Fickar menekankan, tindak pidana korupsi tidak hanya menimbulkan kerugian di satu instansi saja. Masyarakat dan negara juga turut dirugikan akibat korupsi. Untuk itu, dia mendorong agar para anggota TNI yang terlibat korupsi diproses di pengadilan tipikor.
“Karena korupsi itu merugikan semua pihak yang tidak terbatas siapa pun, karena itu lebih tepat ditangani pengadilan tipikor. Itu sebabnya di pengadilan tipikor ada hakim ad hoc yang mewakili masyarakat menjadi salah satu hakim,” tutur Fickar.
Fickar turut menyoroti aturan main terhadap militer yang dia nilai kurang adil. Mengacu peraturan yang ada, tiap orang dari unsur militer yang diduga melakukan pidana menjadi kewenangan dari peradilan militer.
“Memang aturan ini tidak adil, mestinya hanya berlaku di waktu perang saja dan terbatas pada kejahatan yang bersifat militer,” ujar Fickar.
Fickar menyebut, militer yang bertugas di instansi sipil semestinya diberhentikan sementara dari lembaga asalnya. Hal itu agar yang bersangkutan tunduk dengan hukum sipil, termasuk UU Tipikor. Dia mewanti-wanti jika hal tersebut tidak dijalankan.
“Dengan aturan seperti ini pengkaryaan personel militer di institusi sipil menjadi tidak punya pijakan hukum lagi, ini aspek negatif dari pengkaryaan militer di instansi sipil,” tegasnya.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)