RUANGPOLITIK.COM-Pakar Hukum Perbankan Universitas Airlangga Surabaya, Dr. Nurwahjuni, S.H., M.H. mengingatkan Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) untuk berhati-hati saat hendak mengeksekusi aset jaminan obligor terkait BLBI.
Hal tersebut dinyatakan Nurwahjuni saat menjadi pembicara Diskusi Umum dengan tema : “Membincang Profesionalisme, Transparansi, dan Akuntanbilitas Satgas BLBI” yang digelar oleh Nusakom Pratama Institute dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Jawa Timur di Surabaya, Kamis (30/6) lalu.
Doktor dengan disertasi mengenai Bank Indonesia ini menyontohkan salah satu tindakan gegabah Satgas BLBI saat melakukan eksekusi aset milik PT Bogor Raya Development (BRD) dan PT Bogor Raya Estate (BRE) yang “diduga” terkait dengan kepemilikan Setiawan Harjono dan Hendrawan Harjono – dua diantara para pemilik PT Bank Asia Pasific (Aspac) di Sukaraja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 22 Juni 2022 lalu.
Satgas BLBI “menduga” aset BRD dan BRE yang disita memiliki keterkaitan dengan dua pemilik eks Bank Asia Pasific (Aspac) yakni Setiawan Harjono dan Hendrawan Harjono. Padahal, BRD dan BRE tidak ada sangkut pautnya dengan Aspac maupun dengan Setiawan Harjono dan Hendrawan Harjono.
Penyitaan terhadap lahan milik sah BRD dan BRE seluas 89,01 hektar berupa lapangan golf Bogor Raya serta Hotel Ibis Style dan Novotel yang bersebelahan dengan Jalan Tol Jagorawi ruas Bogor Selatan dipimpin Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polkam) Prof Mahfud MD bersama Kepala Bareskrim Mabes Polri Komjen Pol. Agus Andrianto dan Kepala Satgas BLBI Rionald Silaban. Mahfud menyebut, nilai penyitaan aset BRD dan BRE mencapai Rp 2 triliun.
Berita Terkait:
DPD RI: Mempertanyakan Keprofesionalan Satgas BLBI
5 Fakta Kejanggalan Hukum Penyitaan Aset oleh Satgas BLBI
Pakar Hukum UNHAS : Demi Keadilan, Jangan Batasi PK!
Pemilik Eks Bank ASPAC Sesalkan Penyitaan Aset
Namun belakangan diketahui jika aset tersebut telah lama berpindah tangan menjadi milik pengusaha asal Malaysia. Menurut Nurwahjuni, apa yang dilakukan oleh Satgas BLBI tersebut berpotensi melanggar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
“Melihat cara kerja Satgas BLBI melakukan penyitaan, ada potensi perbuatan melawan hukum. Seharusnya Satgas BLBI terlebih dahulu mencari data legalitas aset tersebut, jangan asal main ambil saja. Itu kan sama saja dengan merampas milik orang lain,” tegas Nurwahjuni yang kerap menjadi saksi ahli dalam berbagai kasus sengketa kepemilikan aset perbankan tersebut.
Ia menilai, Satgas Penagihan Hak Tagih Negara Dana BLBI terkesan tidak berhati-hati karena ada beberapa aset perusahaan yang masih diatasnamakan pribadi. “Jangan sampai digugat balik oleh pihak yang merasa dirugikan. Contoh terbaru, penyitaan Satgas BLBI terhadap 300 sertifikat hak milik kepunyaan warga Jasinga, masih di Kabupaten Bogor yang telah diserahkan Presiden Jokowi kepada warga juga persoalan yang sangat memalukan. Walau Satgas BLBI menengarai kepemilikan lahan terkait dengan eks aset Bank Namura Internusa, seharusnya Satgas BLBI tidak menihilkan program redistribusi lahan yang menjadi program unggulan Presiden Jokowi. Satgas BLBI seperti menampar muka Presiden ” tandasnya.
Selain itu, dalam paparannya berjudul BLBI dalam Perspektif Undang-undang Bank Indonesia (Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004), ada dua terminologi hukum dalam nomenklatur BLBI, yakni Dana Bank Indonesia bukan dana milik pemerintah, mengingat Bank Indonesia adalah sebuah badan hukum sebagaimana tercantum pada pasal 4 ayat 3 Undang-Undang Bank Indonesia.
Kedua, dana bantuan berbeda dengan kredit. Jika kredit wajib dibayar atau dikembalikan, sebaliknya bantuan bersifat sosial dan tidak wajib dibayar atau dikembalikan. (AP)
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)