RUANGPOLITIK.COM-Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akan memasuki akhir masa jabatannya pada 1 Oktober 2022. Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dijelaskan bahwa tidak ada Pilkada pada 2022 dan 2023.
Seluruh Pilkada akan dilaksanakan pada November 2024. Untuk mengisi kekosongan kepala daerah, pemerintah pusat diberikan kewenangan untuk menunjuk pejabat.
Pejabat gubernur adalah pejabat pimpinan tinggi pratama atau eselon II. Mulai banyak media membunyikan nama-nama untuk berada pada kursi DKI-I, dan salah satu yang di sebut sekaligus diperbincangkan adalah Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan, Juri Ardiantoro yang saat ini juga sebagai Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Jakarta.
Direktur Central for Strategic on Islamic and International Studies (CSIIS) Ali Muhtrom menilai bahwa Juri Ardiantoro merupakan sosok tepat PJ. Gubernur DKI pengganti Anies Baswedan. Menurut Ali terdapat beberapa alasan penting mengapa Juri Ardiantoro tepat menjadi Plt. gubernur DKI.
Pertama, kecakapan intelektual dan interpersonal yang seimbang. Juri Ardiantoro mampu mengombinasikan dua keserdasan yaitu secara intelektual dan interpersonal sehingga narasi beragumentasinya seirama.
Berita Terkait:
Pasangan Ganjar-Anies, Pengamat Sebut Kemungkinan Terusung di 2024 Kecil
Zulhas: Pak Anies, Cak Imin, Mudah-mudahan Kita Bareng-bareng Ya!
Namanya Menggema di Milad PKS, Anies: Saya Masih Konsentrasi Selesaikan Tugas
Teriakan ‘I Love You, Anies’ Menggema di Puncak Milad ke-20 PKS
Tidak mengherankan apabila Presiden Joko Widodo memberikan kepercayaan kepada Juri Ardiantoro sebagai Kepala Deputi IV Bidang Informasi dan Komunikasi Politik. Dari sini, menurut Ali Juri mampu membawa pesan politik kepada publik yang secara psikologis dan sosiologis tidak sulit untuk diterima masyarakat.
Dalam konteks masyarakat DKI Jakarta kemampuan menjadi modal social dalam mengawal kontestasi demokrasi untuk menjadikan Jakarta lebih bermartabat dan maslahat untuk rakyat.
Kedua, kecakapan menerjemahkan visi Presiden. PJ. Gubernur DKI tidak hanya bisa bertumpu pada positioning yang cenderung birokratif. Namun, lebih dari itu, kecakapan dalam mengelola dinamika sosial dan politik di DKI Jakarta sangat penting.
Apalagi DKI yang selalu bergulir tak menentu yang membutuhkan banyak aktivitas politik diluar prediksi yang tidak disangka-sangka.
Nantinya, PJ Gubernur DKI tidak hanya melanjutkan setiap program atau menyelesaikan agenda-agenda sebelumnya, namun PJ Gubernur DKI harus mampu mengejawantahlan visi dan misi Presiden Joko Widodo yang salah satunya tentang pemulihan ekonomi nasional.
Untuk itu, bisa dipastikan bahwa PJ Gubernur DKI nanti adalah orang yang memiliki kesamaan paham dan seirama dengan agenda-agenda percepatan pemulihan ekonomi dengan pemerintah pusat.
Sehingga, dibutuhkan orang yang kuat secara karakter, berintegritas, cakap intelektual dan pandai berkomunikasi dengan lintas sektor dan generasi. Dan Juri Ardiantoro adalah sosok yang tepat, Lanjut Ali.
Ketiga, kemampuan menyukseskan Pilkada 2024. Selain kemampuan menerjemahkan visi dan misi Presidan sebagaimana di atas, beban kerja PJ Gubernur DKI ke depan mengarah pada kemampuan dalam mensukseskan Pemilu serentak, yaitu Pilpres, Pileg dan Pilkada pada tahun 2024.
PJ Gubernur DKI Jakarta tidak hanya sekedar mampu dalam administratif-birokratif, namun hal penting lain adalah kemampuan untuk memitigasi dan memberikan solusi serta mengantisipasi hal-hal yang dapat mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban penyelenggaran “Pesta Rakyat 2024”.
“Dan hal tersebut menjadi hal yang cukup berat bagi PJ Gubernur DKI nanti jika PJ. Gubernur DKI belum memiliki kompetensinya. Paling tidak pengalaman Pilkada DKI tahun 2017 dan Pilpres tahun 2019 yang melelahkan,” Lanjut Ali
“Berkaca pada Pilkada DKI 2017 bagaimana polarisasi dan politisasi agama begitu nampak dalam perjalanan kontestasi. Minimnya adu argumentasi ilmiah dan ide-ide segar dalam hal kesejahteraan dikalahkan oleh diskursus “politik agama” yang sudah tidak relevan. Kata Ali
Hal yang sama juga terjadi pada Pilpres 2019 yang membentuk Indonesia menjadi dua bagian, “Cebong”dan “Kampret”, tentu hal ini harus segera disudahi dan diakhiri hingga akarnya. Pekerjaan yang rumit, ditambah dengan maraknya isu intoleransi dan SARA mengindikasikan bahwa sikap sentimen primordial “agama” masih kuat. Menurut Ali, Juri Ardiantoro punya pengalaman yang sangat banyak dalam dunia kepemiluan.
Bisa pahami bahwa keaktifan Juri dalam dunia kepemiluan dimulai dari Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Anggota KPU DKI, hingga menjadi Ketua KPU RI (2016-2017). Rekam jejak kepemiluan tersebut menjadi modal kekuatan dalam memahami dan mengelola konstalasi politik lokal. Pungkas Ali Ali. (ASY)
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)